Hak Angket? Ini Sejarahnya dari Era Soekarno Hingga Jokowi

Sumber Gambar: dpr.go.id


Sejarah penggunaan hak angket oleh DPR tentu sudah pernah dipelajari di bangku sekolah. Namun demikian, untuk lebih menambah pemahaman dan wawasan kita, tidak ada salahnya kita membaca kembali sejarahnya. 


Apa itu hak angket? 


Dikutip dari dpr.go.id, hak angket merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.


Baru-baru ini di media massa santer diberitakan mengenai penggunaan hak angket. Pembahasan mengenai inisiatif hak angket DPR menjadi sorotan setelah diungkapkan oleh kandidat presiden ketiga, Ganjar Pranowo.

 

Ganjar menganjurkan DPR untuk menyelidiki dugaan tindakan curang dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2024.

 

Ganjar mendorong dua partai politik yang mendukungnya, yaitu PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan, untuk memanfaatkan hak angket. Menurutnya, DPR tidak seharusnya mengabaikan dugaan kecurangan yang menurutnya sudah terbuka.

 

"Dalam hal ini, DPR dapat memanggil pejabat negara yang mengetahui praktik kecurangan tersebut, termasuk meminta pertanggung jawaban KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) selaku penyelenggara Pemilu," kata Ganjar dalam keterangannya, Senin (19/2/2024), dikutip dari Kompas.com.

 

Rupanya, lawan Ganjar dalam kontestasi pemilihan presiden, yaitu Anies Baswedan, memberikan tanggapan positif terhadap usulan tersebut. Dia menyatakan bahwa partai politik yang mendukungnya juga bersedia untuk mengajukan hak angket. Tiga partai politik pendukung Anies-Muhaimin meliputi Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera.

 

"Kami ketemu dan membahas langkah-langkah dan kami solid karena itu saya sampaikan, ketika insiatif hak angket itu dilakukan maka tiga partai ini siap ikut," ujarnya saat ditemui di Kantor THN Anies-Muhaimin Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Selasa (20/2/2024), dikutip dari Kompas.com.

 

Hak angket merupakan kewenangan DPR untuk menyelidiki implementasi suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang dianggap penting, strategis, dan memiliki dampak yang luas bagi kehidupan bersama, negara, dan bangsa, jika diduga melanggar hukum. Fungsinya adalah untuk memungkinkan DPR melakukan pengawasan terhadap pemerintah atau lembaga eksekutif.

 

Pengawasan dilakukan untuk menjaga stabilitas negara dan memastikan bahwa semua kebijakan pemerintah tetap sesuai dengan hukum dan diambil untuk kepentingan rakyat. Kewenangan ini dimanfaatkan untuk menyelidiki dan mengumpulkan bukti jika ada dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan pemerintah, serta dapat digunakan sebagai dasar untuk merevisi atau memperbaiki kebijakan tersebut.

 

Dasar hukum penggunaan hak angket oleh DPR dijelaskan dalam Pasal 177 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).

 

Persyaratan yang harus terpenuhi agar DPR dapat mengajukan hak angket kepada pemerintah meliputi pengajuan oleh minimal 25 anggota legislatif dari lebih dari satu fraksi. Usulan tersebut juga harus mendapatkan dukungan dari partai lain agar memenuhi syarat dari lebih dari 50 persen anggota dewan. Selain itu, permohonan hak angket harus disertai dengan dokumen yang memuat informasi tentang substansi kebijakan atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki, serta alasan dari penyelidikan yang diajukan.


Setelahnya, DPR harus menyelenggarakan sidang pleno untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak pengajuan hak angket. Jika usul tersebut diterima dalam sidang pleno, DPR akan segera membentuk panitia hak angket yang terdiri dari perwakilan semua fraksi di DPR. Namun, jika usulan tersebut ditolak, hak angket tidak dapat diajukan kembali.

 

Pengajuan hak angket juga harus mempertimbangkan jumlah dukungan anggota DPR. Penggunaan hak angket terkait Pemilu DPR telah terjadi beberapa kali dalam sejarah. Selama masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, DPR tidak pernah menggunakan hak angket sama sekali. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan aktivitas politik di DPR yang diakibatkan oleh gaya kepemimpinan Soeharto yang otoriter. Seluruh kewenangan DPR baru pulih setelah berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru melalui gerakan Reformasi pada tahun 1998.

 

Pada tahun 1999, DPR menggunakan hak angket terkait pelaksanaan Pemilu. Pada saat itu, DPR membentuk panitia khusus (Pansus) hak angket Pemilu untuk menyelidiki dugaan pelanggaran dana kampanye yang telah disahkan oleh KPU. Pansus kemudian menemukan beberapa pelanggaran terkait penggunaan dana kampanye dalam penyelidikan mereka, namun tidak ada sanksi yang tegas yang diberlakukan.


Pada tahun 2004, DPR kembali membentuk Pansus hak angket untuk menyelidiki dugaan manipulasi data dalam proses penghitungan suara. Namun, dari hasil penyelidikan Pansus, tidak ditemukan bukti yang kuat untuk mendukung adanya tindakan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Kemudian, pada tahun 2009, DPR kembali membentuk Pansus hak angket untuk mengungkap dugaan ketidakberesan dan inkonsistensi dalam penyelenggaraan pemilu oleh KPU. Meskipun hasil penyelidikan Pansus merekomendasikan agar KPU dihentikan, rekomendasi tersebut tidak diikutsertakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).



DPR kembali menggunakan hak angket pada tahun 1980, pada masa Orde Baru. Saat itu, terjadi kontroversi terkait sengketa warisan antara mantan pejabat Pertamina, H Thahir, dengan pemerintah. Kartika Ratnan, istri kedua almarhum H Thahir, bersikeras bahwa warisan suaminya adalah haknya. Anak-anak H Thahir dari pernikahan pertamanya juga mengajukan tuntutan terkait warisan tersebut.


Namun, jumlah uang yang disimpan oleh Thahir di luar negeri terbilang besar dan menimbulkan kecurigaan. Setelah diselidiki, terungkap bahwa almarhum diduga menerima gratifikasi dari beberapa perusahaan mitra Pertamina selama hidupnya. DPR kemudian mengajukan pertanyaan tentang kepemilikan uang tersebut. Sebagai hasilnya, Soeharto mengutus Menteri Sekretaris Negara, Sudharmono, pada tanggal 21 Juli 1980 untuk memberikan penjelasan kepada DPR mengenai masalah tersebut.


Namun, DPR pada saat itu tidak merasa puas dan mengambil langkah dengan membentuk panitia hak angket. Namun, rencana untuk menggunakan hak angket tersebut akhirnya ditolak dalam sidang pleno lanjutan di DPR. Kemudian, DPR menghidupkan kembali wacana hak angket pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, yang sering disebut sebagai Gus Dur. Pada saat itu, terjadi ketegangan antara Gus Dur dan DPR yang berakhir dengan dekrit pembubaran parlemen pada tahun 2001.

 

Setelah dekrit dikeluarkan, DPR memberikan respons dengan mengajukan hak angket untuk menyelidiki dugaan korupsi yang dikenal sebagai Buloggate. Hal ini disebabkan oleh tuduhan bahwa Gus Dur terlibat dalam pengalihan dana dari Yayasan Bina Sejahtera Badan Urusan Logistik (Bulog).


Selain itu, DPR juga mengajukan hak angket untuk menyelidiki sumbangan sejumlah 2.000.000 Dolar Amerika Serikat dari Sultan Brunei Hassanal Bolkiah yang ditujukan untuk rakyat Aceh. Isu ini dikenal dengan sebutan Bruneigate. Setelahnya, Gus Dur digulingkan melalui MPR. DPR juga menggunakan hak angket untuk menyelidiki dugaan korupsi dalam penggunaan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.


Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2004, DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki penjualan 2 kapal tangker VLCC yang dimiliki oleh Pertamina. 


Kemudian, pada Maret 2008, DPR menyetujui permohonan hak angket untuk menyelesaikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) melalui Sidang Paripurna, karena ada kekhawatiran bahwa perkara yang sedang diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) tersebut mungkin akan dihentikan.

 

DPR kembali mengajukan hak angket pada periode kedua masa pemerintahan SBY pada tahun 2009. Saat itu, DPR membentuk Pansus hak angket untuk menyelidiki kebijakan bailout terhadap Bank Century. Kemudian, hak angket juga diajukan kembali oleh DPR pada awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2017.


Ketika itu, DPR mengajukan hak angket terkait penyelidikan dugaan korupsi terkait kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Permasalahannya timbul ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak memberikan salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Miryam S. Haryani. 


Dalam BAP tersebut, Miryam menyebutkan beberapa nama anggota dan mantan anggota DPR yang diduga terlibat dalam kasus korupsi e-KTP. Pada saat itu, Fahri Hamzah, yang masih menjabat sebagai Wakil Ketua DPR, mendukung penggunaan hak angket. Namun, fraksi Gerindra, Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menentang usulan tersebut.


Sumber: KOMPAS.com
Editor: Yusep Kurniawan


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama