Tulisan ini adalah refleksi tentang wajah pendidikan Indonesia di era digital, ketika ketulusan sering kalah oleh algoritma dan makna dikalahkan oleh sensasi. Penulis mengajak pembaca menengok kembali ruang kelas yang sunyi—tempat sejati pendidikan tumbuh, jauh dari kamera dan komentar. Sebuah renungan hangat bagi para guru yang tak viral, namun tetap menyalakan harapan bangsa
Ketika Ketulusan Dikalahkan oleh Algoritma
Oleh Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Di zaman ketika kecepatan unggahan lebih berharga daripada kedalaman pikiran, nilai-nilai pendidikan kita sering kalah oleh algoritma.
Yang beredar bukan lagi keteladanan, melainkan kegaduhan.
Yang dihormati bukan lagi kebijaksanaan, melainkan siapa yang paling cepat dikomentari.
Dan di antara riuh itu, profesi guru—yang seharusnya menjadi jangkar moral bangsa—pelan-pelan tergeser menjadi bahan tontonan.
Di negeri ini, berita tentang guru yang menampar murid bisa viral dalam semalam.
Namun kisah seorang guru yang diam-diam membelikan sepatu untuk siswanya yang miskin hanya menjadi bisik-bisik di warung kopi.
Tampaknya algoritma memang lebih menyukai kemarahan ketimbang ketulusan.
Media sosial—yang dahulu diimpikan sebagai ruang berbagi inspirasi—kini menjelma menjadi papan pengumuman raksasa bagi kegaduhan kolektif.
Pendidikan pun ikut terseret ke dalam arus yang sama: yang lucu disebar, yang tragis diramaikan, yang tulus dilupakan.
Barangkali karena ketulusan tak punya thumbnail yang menarik, dan kejujuran tak sanggup bersaing dengan sensasi.
Sujiwo Tejo pernah berkata getir, “Bangsa kita lebih suka drama daripada kerja.”
Kalimat itu kini terdengar makin sahih.
Di tengah banjir konten “edukatif”, banyak yang sejatinya hanya menjual kebingungan dalam format vertikal.
Guru yang sungguh-sungguh mengajar dengan hati jarang tampil di layar—karena ia sibuk di kelas, bukan di kamera.
Padahal masih banyak guru yang tidak trending, tapi setiap pagi menyapu halaman sekolah sebelum jam pelajaran.
Masih ada kepala sekolah yang menanam pohon bukan demi penghargaan, melainkan karena tahu: oksigen adalah pelajaran paling pertama dalam kehidupan.
Masih ada murid yang memeluk gurunya bukan untuk konten, tapi karena benar-benar rindu.
Namun wajah pendidikan di media sosial seolah hanya dua warna: hitam dan putih.
Padahal di antara keduanya ada wilayah abu-abu yang justru paling manusiawi—tempat para guru berdiri gamang antara idealisme dan kenyataan.
Mereka berjuang menyeimbangkan hati di tengah tekanan administratif, sorotan publik, dan tumpukan laporan daring yang seolah tak berujung.
Yang membuat satire ini pahit ialah: publik hanya peduli ketika guru salah.
Ketika guru benar, dunia diam.
Seolah yang layak diberitakan hanyalah kegagalan, bukan ketekunan.
Padahal pendidikan sejati tidak tumbuh dari kegaduhan, melainkan dari keheningan.
Mungkin bukan medianya yang salah, tapi cara kita memandang.
Kita terlalu lapar pada sensasi, namun malas pada makna.
Kita menyukai yang cepat dan viral—padahal mendidik manusia adalah proses yang lambat, hening, dan penuh pengorbanan.
Budaya digital yang serba “real time” perlahan menyingkirkan nilai-nilai kesabaran, keteladanan, dan refleksi—tiga hal yang menjadi jantung pendidikan itu sendiri.
Sekolah pun tanpa sadar ikut menyesuaikan diri: lebih sibuk menyiapkan laporan pencapaian daripada menumbuhkan rasa ingin tahu.
Guru dipaksa berperan ganda—sebagai pendidik, operator data, kreator konten, sekaligus figur moral di mata publik yang mudah menghakimi.
Makna mengajar pun perlahan bergeser dari “menyentuh jiwa” menjadi “memenuhi ekspektasi.”
Padahal pendidikan sejati selalu berjalan diam-diam: di ruang kecil, di antara tumpukan kertas, di tengah keterbatasan.
Ia tidak butuh sorot kamera, karena cahayanya berasal dari dalam dirinya sendiri.
Ia tumbuh dari niat baik, dari tatapan mata antara guru dan murid, dari kesabaran yang tak perlu tepuk tangan.
Gus Mus pernah berpesan lembut,
“Kalau kamu melakukan kebaikan dan tidak ada yang tahu, percayalah: Allah tahu, dan itu cukup.”
Barangkali itu juga doa bagi para guru yang tak sempat viral:
yang mengajar di ruang kelas bocor, menulis laporan sambil menemani anaknya belajar,
yang mengantuk tapi tetap tersenyum di apel pagi.
Mereka mungkin tak dikenal publik,
tapi dikenal oleh murid-muridnya—yang kelak tumbuh menjadi manusia baik.
Dan bukankah itu sebetulnya bentuk viral yang paling sejati?
Maka biarlah dunia terus ramai dengan isu dan algoritma.
Sementara di pojok sekolah, di antara kapur, buku, dan doa,
ada seorang guru yang tetap menyalakan nyala kecilnya.
Ia mungkin tak terkenal,
tapi karena dialah bangsa ini masih punya harapan.
Purwokerto, 1 Nop 2025
Penulis: Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja (Guru IPA SMP N 2 Ajibarang)
إرسال تعليق