Aplikasi sebagai Sarana Evaluasi Belajar: Harapan Digital, Realita Klasik, dan Jalan Tengah untuk Masa Depan Pendidikan
Oleh : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Di tengah gegap gempita digitalisasi pendidikan, banyak
pihak berharap teknologi menjadi "jawaban instan" atas segala
persoalan pembelajaran. Learning Management System (LMS), aplikasi kuis
interaktif, bank soal digital, hingga analitik pembelajaran kini tersedia dalam
ragam platform. Di atas kertas, semua itu tampak ideal: guru tinggal memilih
aplikasi, siswa menjawab, lalu nilai dan analisis belajar otomatis muncul.
Namun realitas di kelas bahkan di sekolah sering kali jauh
dari narasi promosi teknologi. Artikel ini mengajak guru dan sekolah melihat
secara kritis apa yang sebenarnya terjadi dalam evaluasi pembelajaran di
sekolah, serta bagaimana aplikasi digital bisa menjadi solusi bukan sekadar
ornamen kebijakan.
1. Idealita vs Realita Penyusunan Evaluasi
Idealnya, setiap soal evaluasi harus disusun berdasarkan
kaidah konstruksi, kaidah materi, dan kaidah bahasa agar benar-benar mengukur
capaian pembelajaran dan kompetensi berpikir. Realitanya, penyusunan soal
sering "seadanya" karena:
- Keterbatasan waktu dan tenaga
- Keterbatasan kemampuan guru dalam menulis instrumen
evaluasi
- Keterbatasan anggaran (tidak ada pelatihan, tidak ada tim
pembuat soal)
- Tuntutan administrasi yang terus menumpuk
Akibatnya, soal hanya mengukur kemampuan mengingat
(low-order thinking), bukan memahami, menganalisis, menalar, dan mengkreasi.
2. Nilai Evaluasi: Antara Fakta Kemampuan Siswa dan Tekanan
Sistem
Banyak sekolah menghadapi fenomena serupa: nilai hasil
evaluasi rendah dan tidak mencerminkan capaian pembelajaran. Alih-alih menjadi
diagnosa belajar, nilai sering berubah menjadi angka pemanis demi kelancaran
kelulusan, daftar nilai raport, atau tuntutan pemangku kepentingan. Jumlah
siswa lulus lebih penting daripada akurasi evaluasi. Guru pun kadang terpaksa
"mengondisikan nilai" bukan berdasarkan logika evaluasi, tetapi
desakan pragmatis.
3. Evaluasi Formatif vs Sumatif: Dua Dunia yang Tidak
Pernah Berdialog
Evaluasi formatif seharusnya memberikan umpan balik proses
belajar, sedangkan evaluasi sumatif mengukur hasil akhir. Idealnya, keduanya
saling mendukung, saling mengonfirmasi, saling mengamplifikasi. Realitanya,
keduanya seperti dua pulau terpisah. Proses belajar diasumsikan baik tanpa
indikator jelas. Kesulitan belajar siswa tidak dianalisis secara individual
maupun klasikal. Guru hampir tidak pernah melakukan remedial berbasis
diagnosis yang ada remedial administrasi. Evaluasi menjadi ritual, bukan mesin penggerak
pembelajaran.
4. Soal Pilihan Ganda: Murah, Praktis, tapi Menjebak
Pilihan ganda masih menjadi raja karena: mudah dibuat, mudah
dikoreksi, mudah dikelola skala besar. Namun kritiknya jelas: Model ini
menghambat kreativitas berpikir, memarjinalkan kemampuan bernalar, dan tidak
mengakomodasi pembelajaran kontekstual. Pertanyaannya: apakah siswa abad ke-21
akan dituntut memilih satu jawaban benar dari empat opsi, atau dituntut
memecahkan masalah dunia nyata?
Di Sini Aplikasi Hadir: Bukan Obat, tapi Alat
Aplikasi digital untuk evaluasi pembelajaran Google Forms,
Kahoot, Quizizz, Socrative, Moodle, Schoology, LMS sekolah, hingga platform
AI menawarkan peluang untuk memperbaiki tata kelola evaluasi.
Keuntungan dan Kemudahan
Masalah yang Masih Menghambat
Penggunaan aplikasi bukan tanpa tantangan: kesiapan guru
(literasi digital dan literasi evaluasi), perangkat dan jaringan, beban
administrasi digital yang tidak mengurangi beban kerja konvensional, budaya
sekolah yang belum memprioritaskan diagnosis kesulitan belajar, masih ada
anggapan bahwa penggunaan aplikasi sekadar tren atau tuntutan proyek. Teknologi
hanya membantu jika mindset evaluasi diperbaiki. Jika tidak, aplikasi hanya
menjadi pengganti kertas, bukan pengganti paradigma.
Pikiran Alternatif: Evaluasi sebagai Dialog, Bukan Ritual
Evaluasi bukan penghukuman, bukan formalitas kalender
akademik, bukan sekadar angka raport—melainkan jembatan untuk membuat
pembelajaran lebih bermakna. Beberapa reformasi yang layak dikenalkan di
sekolah:
- Evaluasi Diagnostik Berbasis Data
- Portofolio Digital
- Remedial Berbasis Analisis
- Kolaborasi Guru dalam Analisis Hasil Belajar
Rekomendasi untuk Guru dan Sekolah
- Guru: Pelajari desain evaluasi berbasis kompetensi,
manfaatkan aplikasi untuk analisis proses & hasil belajar, gunakan variasi
instrumen
- Sekolah: Investasi pada pelatihan evaluasi, bukan hanya
pelatihan aplikasi; bentuk tim evaluasi sekolah
- Siswa: Beri ruang untuk mengekspresikan pemahaman dalam
berbagai format, bukan hanya pilihan ganda
- Orang Tua: Terlibat memantau perkembangan belajar melalui
LMS, bukan sekadar menunggu raport
- Pembuat Kebijakan: Digitalisasi jangan hanya mengirim
alat, tapi membangun budaya evaluasi yang bermakna
Penutup
Teknologi tidak akan menyelesaikan persoalan evaluasi
pendidikan jika kita hanya mengubah medianya tanpa mengubah cara berpikirnya.
Evaluasi pembelajaran yang bermakna lahir dari paduan antara guru yang
reflektif, budaya sekolah yang edukatif, serta teknologi yang dipakai dengan
kebutuhan, bukan pemaksaan. Digitalisasi evaluasi bukan tujuan akhir. Tujuan
akhir kita adalah pembelajaran yang semakin manusiawi — di mana setiap anak
dipandang bukan sebagai nilai, tapi sebagai pembelajar yang sedang bertumbuh.
Ajibarang, 16 Desember 2025
Tentang Penulis:
Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja adalah seorang guru IPA dan menulis esai reflektif mengaitkan sains, budaya, dan spiritualitas dalam narasi pendidikan humanistik. Ia percaya bahwa belajar bukan hanya tentang logika, tetapi juga tentang energi yang menghubungkan hati manusia
Posting Komentar