Digitalisasi Pendidikan: Antara Pencitraan dan Kenyataan Ruang Kelas
Oleh: Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Model: Kisworo, S.Pd_Guru Bahasa Inggris SMP Negeri 2 Ajibarang
Namun, segera setelah mikrofon dimatikan dan kamera konferensi pers berhenti merekam, musik futuristik itu hilang. Realitas kembali bersuara: papan tulis yang sudah menipis, komputer hibah yang tak menyala, internet yang “mikir dulu” sebelum bekerja, guru yang mencoba login selama setengah jam dan akhirnya menyerah kembali ke spidol yang hampir kehabisan tinta.
Antara wacana dan kenyataan, ada jurang yang dalam. Dan murid adalah pihak yang jatuh paling jauh ke dalamnya.
Proyek Digital, Mengabaikan Diagnosis
Masalah terbesar pendidikan kita bukan penolakan terhadap teknologi, melainkan cara teknologi dipaksakan masuk ke sekolah.
Perangkat datang ke sekolah bukan karena dibutuhkan, tetapi karena diputuskan dibutuhkan. Seperti dokter memberikan obat tanpa memeriksa penyakit.
Pertanyaan sederhana yang seharusnya mendahului digitalisasi jarang terdengar:
Apakah guru sudah terlatih?
Apakah ada pendampingan berkelanjutan?
Apakah infrastruktur memadai?
Apakah kurikulum dan budaya belajar sudah siap?
Apakah ada anggaran perawatan dan pengembangan?
Yang datang justru paket proyek. Yang tidak datang adalah desain ekosistem. Pada akhirnya, sekolah diminta “menggunakan” teknologi bukan untuk pembelajaran, tetapi untuk kepatuhan — agar terlihat berhasil di laporan.
Saat teknologi tidak digunakan, kesalahannya langsung diarahkan pada sekolah:
Perangkat tidak dipakai → guru gaptek
Aplikasi tidak jalan → sekolah tidak kooperatif
Pembelajaran tidak membaik → guru tidak inovatif
Padahal sering kali system-lah yang gagal — bukan manusianya.
Guru dan kepala sekolah bekerja dalam tekanan ganda: mengajar murid sekaligus mengejar administrasi digital, mengisi aplikasi, mengunggah laporan, menuntaskan target serapan proyek… bahkan ketika koneksi internet macet atau pelatihan tidak pernah ada.
Singkatnya: sekolah sibuk memenuhi aplikasi, bukan memenuhi kebutuhan murid.
Murid: Penonton Setia Perubahan
Ironi paling pedih pendidikan kita adalah ini:
Murid tidak bertambah pintar hanya karena sekolah mendapat bantuan perangkat.
Murid tidak belajar lebih baik hanya karena guru mengisi banyak aplikasi.
Murid tidak semakin cerdas hanya karena kepala sekolah sibuk rapat proyek.
Murid belajar karena ia didengarkan, dituntun, ditanya, dan dipahami.
Ketika administrasi naik, hubungan guru–murid menurun. Ketika laporan menjadi prioritas, pembelajaran kehilangan jiwa.
Murid kehilangan jam praktik di laboratorium — tapi negara mendapatkan jam kerja administratif.
Murid kehilangan kesempatan bertanya — tapi dinas mendapatkan laporan “kegiatan berjalan baik.”
Seperti menanam pohon plastik: tampak rimbun di foto, mati di kehidupan.
Kamera Konferensi Pers vs Kamera Kelas
Kalau ingin menilai pendidikan kita dengan jujur, ada rumus sederhana:
Matikan kamera konferensi pers — hidupkan kamera kelas.
Kamera konferensi pers menangkap pencitraan.
Kamera kelas menangkap kenyataan: kebingungan, tawa, air mata, frustrasi, dan keberhasilan kecil yang membuat pembelajaran bermakna.
Selama digitalisasi tidak menempatkan pembelajaran sebagai pusatnya, selama itu pula proyek apa pun hanya akan terlihat gagah di presentasi — dan kosong di kehidupan nyata sekolah.
Mengembalikan Jiwa Sekolah
Digitalisasi tetap penting — tetapi harus berangkat dari logika kemanusiaan, bukan logika proyek.
Beberapa prinsip tidak boleh ditawar:
1. Kedaulatan akademik harus kembali ke sekolah.Teknologi harus mengikuti kebutuhan sekolah, bukan sebaliknya.
2. Pelatihan dan pendampingan mendahului perangkat.Inovasi tanpa kesiapan hanya menghasilkan pemborosan.
3. Beban administrasi guru harus dipangkas.Guru adalah penggerak pembelajaran, bukan operator data.
4. Kepala sekolah harus kembali menjadi pemimpin pembelajaran, bukan pelaksana proyek.
5. Kolaborasi antar sekolah harus nyata — praktik baik, bukan webinar pencapaian.
Digitalisasi yang benar bukan tentang seberapa modern perangkatnya, tetapi seberapa dalam manfaatnya bagi pembelajaran.
Pertanyaan Masa Depan
Indonesia boleh memakai teknologi apa saja — dari AI hingga metaverse. Tetapi kalau murid kita tetap belajar dalam kecemasan, tekanan laporan, dan infrastruktur yang rapuh, kita hanya membangun masa depan dengan pondasi keropos.
Kemajuan pendidikan tidak akan lahir dari jumlah proyek yang diresmikan, tetapi dari jumlah anak yang mengerti mengapa ia belajar.
Suatu hari nanti, kalau bangsa ini benar-benar maju, alasannya sederhana:
Karena ruang kelas kembali menjadi rumah belajar.
Karena guru kembali dihormati sebagai pembawa cahaya pengetahuan.
Karena murid kembali dilihat sebagai manusia — bukan sebagai statistik.
Teknologi boleh megah.
Tapi sekolah harus manusiawi.
Tanpa itu, digitalisasi tak lebih dari hiasan mahal yang kehilangan makna.
Ajibarang, 9 Des 2025
Tentang Penulis:
Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja adalah seorang guru IPA dan menulis esai reflektif mengaitkan sains, budaya, dan spiritualitas dalam narasi pendidikan humanistik. Ia percaya bahwa belajar bukan hanya tentang logika, tetapi juga tentang energi yang menghubungkan hati manusia
Posting Komentar