MENONTON DRACIN, BUKAN WAYANG DI HARI IBU




MENONTON DRACIN, BUKAN WAYANG DI HARI IBU

Oleh: Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja


Saya punya kenangan masa kecil yang sederhana sekaligus mewah: menonton wayang kulit di perayaan Hari Ibu. Bukan di gedung berpendingin, tapi di lapangan desa. Tikar digelar, suara gamelan mengalun pelan, ibu-ibu duduk bersila sambil sesekali menepuk anaknya yang mengantuk. Wayang tidak sekadar tontonan. Ia doa yang dipanjangkan. Ia nasihat yang tidak berteriak. Ia cara orang-orang tua mengajarkan hidup.

Hari ini, kenangan itu terasa seperti kisah dari bangsa lain.

Di Hari Ibu, anak-anak kita lebih akrab dengan dracin drama Cina penuh jurus cepat, cahaya, dan kemenangan instan. Bukan salah dracin. Yang patut dipertanyakan adalah: mengapa kita rela meninggalkan ibu kita sendiri, lalu bertepuk tangan pada ibu bangsa lain?

Wayang tidak kalah mutu.

Ia dikalahkan oleh kesabaran kita yang runtuh.


Jaman sekarang, saat anak pulang ke rumah.

Ibunya menyambut dengan senyum.Anak itu lewat saja.

Tangannya sibuk menggenggam layar, matanya menunduk pada dunia lain.

Ia lupa mencium tangan ibunya bukan karena durhaka, tapi karena terlalu banyak yang lebih menarik dari ibunya.


Hari itu bukan fiksi.

Hari itu adalah potret kita.

Kita adalah anak-anak yang lupa pada ibu, tapi rajin mengunggah ucapan cinta pada Hari Ibu. Kita hafal template, tapi lupa makna. Kita hafal slogan, tapi gagap pada laku. Kita pandai merayakan, tapi malas merawat.


Tak ada satu puisi pun yang bisa mewakili rasa cinta, rindu, hormat, kasih, dan sayang kepada ibu. Kata selalu kurang. Doa pun terasa sempit jika diperas hanya satu hari. Seharusnya ada minggu ibu, bulan ibu, tahun ibu bahkan hidup ibu.

Sebab ibuku dan ibumu cuma satu.

Namun wajah hatinya ada di serba mana.


Ironisnya, justru di zaman yang paling fasih mengucap cinta, kita menjadi anak yang paling lupa pada ibu. Kita memanggilnya saat upacara, tapi mengabaikannya dalam kebijakan. Kita merayakannya di spanduk, tapi mengkhianatinya dalam keputusan.


Wayang adalah ibu.

Ia pelan, dalam, dan menuntut laku.

Ia tidak menyilaukan, tetapi membentuk watak.

Dracin adalah anak zaman: cepat, meloncat, bercahaya.

Sekali klik, konflik selesai.

Sekali episode, dunia runtuh lalu pulih.

Maka kita memilih dracin.

Bukan karena wayang usang,

melainkan karena kita tak lagi tahan menjalani proses.

Bangsa yang kehilangan kesabaran akan kehilangan karakter. Dan bangsa tanpa karakter akan mudah menjual apa saja termasuk ibunya sendiri.

Ibu bukan hanya yang melahirkan kita.

Ibu juga bernama tanah yang kita pijak.


Hari ini, Ibu Pertiwi tidak dipeluk ia ditaksir. Hutannya ditebang atas nama investasi. Gunungnya dikuliti atas nama pembangunan. Sungainya diracuni atas nama pertumbuhan ekonomi. Semua diberi izin. Semua dicap legal.

Hukum berdiri rapi, tapi kehilangan rasa.

Pasal-pasal menjadi kosmetik.

Regulasi berubah menjadi aksesoris.


Ketika banjir datang, kita menyebutnya bencana alam.

Ketika longsor menelan kampung, kita menyalahkan cuaca.

Padahal itu adalah akibat dari keputusan yang sangat manusiawi dan sangat politis.


Di negeri yang masih punya rasa ibu, bencana adalah rasa malu.

Di negeri yang kehilangan nilai, bencana hanyalah jeda sebelum proyek berikutnya.


Kita hidup di tengah birokrasi yang fasih bicara, tapi tuli mendengar. Aturan dibuat berlapis-lapis, lalu dilipat-lipat. Masa jabatan dibatasi, lalu diperpanjang. Penyimpangan tidak dibantah, hanya dicarikan istilah: diskresi, penyesuaian, kompromi.


Yang lurus dianggap kaku.

Yang patuh dianggap tidak adaptif.

Yang pandai menawar disebut realistis.


Wayang mengajarkan bahwa kekuasaan harus dibatasi oleh laku dan rasa malu. Tapi budaya malu telah lama digudangkan, diganti budaya negosiasi. Maka ibu yang bernama nilai disuruh diam demi stabilitas.


Sekolah masih berusaha mengajarkan karakter. Guru masih bicara tentang kejujuran dan tanggung jawab. Namun negara sering memberi contoh sebaliknya. Anak-anak tidak bodoh. Mereka hanya sedang belajar dari realitas yang lebih nyaring daripada nasihat.


Wayang tidak mati.

Ia ditinggalkan.

Ditinggalkan oleh bangsa yang terlalu sibuk mengejar terang layar, tapi lupa menyalakan cahaya batin.

Hari Ibu akhirnya menjadi cermin yang memalukan. Kita menonton dracin sambil mengucap cinta pada ibu. Kita memuja budaya luar sambil membiarkan budaya sendiri masuk gudang. Kita menyebut diri bangsa besar, tapi gagap merawat ibu sendiri.


Tak ada satu kata pun yang cukup untuk ibu.

Tak ada satu hari pun yang pantas mewakilinya.

Ibu tidak minta dipuja.

Ia hanya ingin didengarkan.

Ia tidak menuntut dirayakan.

Ia ingin dihormati dalam sikap dan kebijakan.


Ibuku dan ibumu cuma satu.

Namun wajah hatinya ada di hutan yang habis,

di budaya yang disisihkan,

di aturan yang dibelokkan,

dan di anak-anak yang tumbuh tanpa teladan.

Jika hari ini kita masih menyebut diri bangsa berbudaya, pertanyaannya sederhana dan menyakitkan:

mengapa di Hari Ibu, kita memilih menonton dracin bukan wayang?


Ajibarang, Desember 2025



Tentang Penulis:

Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja adalah seorang guru  IPA dan menulis esai reflektif mengaitkan sains, budaya, dan spiritualitas dalam narasi pendidikan humanistik. Ia percaya bahwa belajar bukan hanya tentang logika, tetapi juga tentang energi yang menghubungkan hati manusia

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama