Setelah Merusak Lingkungan, Menangis di Depan Kamera



Setelah  Merusak Lingkungan, Menangis di Depan Kamera


Surat Terbuka Guru IPA untuk Peduli Bencana

Oleh : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja


Saya guru IPA. Sedih dan perih, gelisah menonton berita banjir bandang dan longsor, di mana-mana.

Saya mengajarkan ekosistem, keanekaragaman hayati, dan keseimbangan alam. Tapi setiap kali saya melihat berita bencana, saya merasa seperti sedang membohongi murid-murid saya. 


Kita, para guru, menyuruh anak sekolah memungut sampah di halaman, sementara negara memberi izin untuk menelanjangi hutan ribuan hektar.


Di buku pelajaran saya, penyebab banjir adalah hilangnya vegetasi.

Di dunia nyata, penyebab banjir adalah hilangnya moral para pembuat kebijakan.Memberi ijin perusakan hutan dan lingkungan secara membabi buta.


Para Perusak Menyamar Jadi Pahlawan


Di lokasi bencana, kamera berkumpul. Pejabat datang dengan rompi khusus, suara lantang, tangan sibuk membagikan bantuan. Dramatis. Heroik. Menyentuh.Seolah sangat peduli dan empati. Benarkah itu yang tercermin dalam aksi?


Tapi izinkan saya bertanya:

Berapa banyak dari mereka yang pernah menandatangani izin eksploitasi alam yang memicu bencana ini?


Kalau jujur, kita harus berani mengatakan:

Sebagian besar aktor bencana adalah orang-orang yang hari ini berfoto sebagai pahlawan.


Tambang dibuka → Hutan lenyap → Tanah longsor → Banjir → Warga mati →

→ Sisa kerusakan dijadikan panggung pencitraan.Tega dan tak punya rasa.


Skema ini begitu rapi dan berulang sampai terasa seperti strategi pemasaran politik.


Pendidikan hari ini kehilangan Nurani


Bencana ada di mana-mana. Tapi sekolah dilarang menggalang dana karena takut dianggap pungli. Luar biasa! Solidaritas dimatikan atas nama aturan. Kita menciptakan generasi yang patuh pada birokrasi dan mati rasa pada kemanusiaan.


Sementara murid dan guru dicekik regulasi, para perusak lingkungan bebas lewat jalur investasi.

Yang kecil ditekan, yang besar dipeluk.


Ini seperti bukan negara hukum.

Ini seperti negara hierarki:

yang rakus berkuasa, yang peduli dibungkam.



Sekolah Adiwiyata: Integritas mati, Bukan Gerakan Lingkungan


Saya jujur: program Adiwiyata banyak yang hanya terlihat hebat di spanduk.

Ia menghabiskan toner printer lebih banyak daripada menghasilkan kesadaran lingkungan. Tidak ada pembelajaran mencintai lingkungan dalam aksi yang nyata. Hari hari banyak jargon, indah dalam kata, hampa dalam makna. 


Sekolah sibuk dokumentasi, bukan konservasi.

Menanam pohon untuk foto, lalu membiarkan mati setelah acara.

Kalau inilah definisi cinta lingkungan yang diajarkan pemerintah, tidak heran bumi sekarat.


Kurikulum lingkungan ditambah?

Silakan. Tapi selama para pemilik kekuasaan membuka hutan lebih cepat daripada sekolah menanam pohon, kurikulum hanyalah bacaan kosong.


Bencana ini Bukti Bahwa Negara Tidak Netral


Jangan keliru:

Bencana ini bukan sekadar fenomena alam.

Ini adalah konsekuensi politik ekonomi ekstraktif.


Hutan menghilang bukan karena rakyat menebang pohon.

Masyarakat adat tidak merusak alam.

Petani bukan ancaman ekologi.


Yang merusak adalah:


perusahaan sawit yang merambah sampai kawasan lindung,

pertambangan yang menggali tanpa reklamasi,

birokrat yang memfasilitasi perizinan demi dividen politik.

Dan semua itu berjalan dengan tanda tangan pemerintah.

Bencana bukan ketidaksengajaan.

Bencana adalah anakan dari kebijakan yang korup.


Kapan Pendidikan Berani Bicara?


Mengapa sekolah diam?

Karena keberanian tidak bisa dicetak dengan SK Kepala Dinas.

Karena guru tidak boleh vokal, tidak boleh kritis, tidak boleh melawan sistem - even when the system kills the planet.

Kami diminta mengajarkan cinta lingkungan, tapi diam ketika hutan dijual.

Diminta menanam karakter, tapi dilarang bersuara untuk kebenaran.

Diminta membentuk generasi emas, tapi dipaksa hidup dalam moral plastik.


Kalau pendidikan sungguh ingin menyelamatkan bumi, satu hal harus dilakukan:


Jangan ajarkan siswa mencintai lingkungan. Ajarkan mereka menolak perusak lingkungan.

Karakter tidak lahir dari pelajaran,

karakter lahir dari keberanian menghadapi kekuasaan yang salah.


Penutup :  untuk Para Pejabat Pecinta Kamera


Jika Anda datang ke lokasi bencana dengan kamera, rompi, dan tim dokumentasi

Anda bukan penyelamat. Anda adalah bagian dari masalah.

Kalau mau sungguh membantu, mulai dari sini:

hentikan izin perusahaan yang merusak hutan

batalkan peraturan yang menyuburkan eksploitasi

pidanakan pejabat yang korup dan korporasi yang kriminal

biarkan sekolah menjadi pusat solidaritas, bukan objek kecurigaan

Karena bumi tidak butuh aktor politik yang bermain peran,

bumi butuh manusia yang berani mengakhiri pembantaian ekosistem.


Dan jika guru tidak bicara, siapa lagi?


Ajibarang, 4 Desember 2025



Tentang Penulis:

Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja adalah seorang guru  IPA dan menulis esai reflektif mengaitkan sains, budaya, dan spiritualitas dalam narasi pendidikan humanistik. Ia percaya bahwa belajar bukan hanya tentang logika, tetapi juga tentang energi yang menghubungkan hati manusia

Post a Comment

أحدث أقدم