Ulang Tahun Sekolah: Perayaan, Pendidikan, atau Hanya Kemeriahan ?
Oleh : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Sekolah, dalam kebudayaan kita, bukan sekadar bangunan dengan ruang kelas dan papan tulis. Ia adalah pranata sosial, ruang nilai, dan ladang pembentukan watak. Karena itu, setiap ritus yang lahir dari sekolah termasuk perayaan ulang tahunnya bukan peristiwa netral. Ia selalu memuat makna, ideologi, dan pilihan kebudayaan.
Di titik inilah perayaan ulang tahun sekolah layak dikaji, bukan dirayakan secara serampangan.
Di banyak sekolah negeri bahkan yang sudah “cukup favorit” ulang tahun menjelma menjadi event besar: panggung megah, baliho, lomba, bakti sosial, liputan media, hingga konten viral di media sosial. Sekilas tampak hidup. Namun jika dicermati lebih dalam, muncul pertanyaan yang tak boleh dihindari: ini perayaan pendidikan, atau sekadar festival keramaian?
Antara Bakti Sosial dan Distorsi Makna
Ambil contoh kegiatan bakti sosial berupa khitanan massal yang diselenggarakan sekolah negeri saat ulang tahunnya. Secara kultural, khitan memang punya nilai sosial dan religius. Ia mulia. Ia membantu masyarakat. Namun justru karena kemuliaannya, ia harus ditempatkan secara jernih.
Pertanyaannya sederhana namun mendasar:
apa hubungan langsung khitanan massal dengan mandat pedagogis sekolah negeri?
Jika jawabannya adalah “menumbuhkan empati dan kepedulian sosial siswa”, maka pertanyaan lanjutan tak kalah penting:
di mana posisi siswa dalam kegiatan itu? Apakah mereka belajar, atau hanya menjadi figuran simbolik di spanduk kegiatan?
Ketika sebuah sekolah negeri yang notabene lembaga publik melakukan kegiatan sosial yang tidak lahir dari kurikulum, tidak terhubung dengan proyek pembelajaran, dan tidak memiliki refleksi pedagogis, maka kegiatan itu rawan berubah menjadi amal simbolik, bukan pendidikan sosial.
Lebih berbahaya lagi, ketika bakti sosial dipakai sebagai penanda moralitas institusi: seolah-olah sekolah otomatis bermoral hanya karena menggelar kegiatan amal. Padahal moral pendidikan tidak diukur dari seberapa besar panggung, tetapi seberapa dalam proses belajarnya.
Sekolah Negeri dan Logika Promosi Diri
Sekolah negeri sejatinya tidak berada dalam logika pasar. Ia tidak butuh promosi agresif, tidak perlu pencitraan berlebihan. Kepercayaan publik semestinya lahir dari mutu pembelajaran, integritas layanan, dan keberlanjutan nilai.
Namun yang terjadi sering sebaliknya. Ulang tahun sekolah menjadi ajang unjuk eksistensi:
– harus ramai,
– harus viral,
– harus masuk berita,
– harus “beda” dari sekolah lain.
Inilah gejala FOMO institusional takut dianggap biasa, takut tak dilihat, takut tak diakui. Akibatnya, konsep kalah oleh euforia. Tujuan dikalahkan oleh keramaian.
Sekolah lalu sibuk mengelola event, tetapi lupa mengelola makna.
Dana, Transparansi, dan Luka Kepercayaan
Persoalan paling sensitif dan sering disapu di bawah karpet—adalah uang.
Dana ulang tahun sekolah kerap dihimpun dari berbagai sumber: alumni lintas angkatan, donatur, sponsor, bahkan kontribusi “sukarela” yang terasa wajib. Di titik ini, pertanyaan publik menjadi sah dan mendesak:
– Dana itu dicatat di mana?
– RAB-nya disusun oleh siapa?
– Dilaporkan kepada siapa?
– Diaudit oleh mekanisme apa?
Ketika transparansi tidak menjadi budaya, maka perayaan seindah apa pun narasinya berpotensi melukai kepercayaan. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang etika, justru membuka celah kecurigaan: konflik kepentingan, penyalahgunaan dana, hingga normalisasi ketidakjelasan.
Ironisnya, semua itu sering terjadi atas nama “kebersamaan” dan “demi nama baik sekolah”.
Sisi Terang yang Tak Boleh Diingkari
Namun kritik tidak boleh buta. Perayaan ulang tahun sekolah juga memiliki sisi positif jika dikelola dengan kesadaran budaya dan pedagogi.
Ia bisa menjadi:
- ruang refleksi sejarah dan nilai sekolah,
- medium pembelajaran kolaboratif lintas generasi,
- ajang penguatan identitas dan kebanggaan warga sekolah,
- laboratorium kepemimpinan siswa yang nyata,
- dan sarana membangun relasi sehat dengan masyarakat.
Syaratnya satu: perayaan harus ditundukkan pada visi pendidikan, bukan sebaliknya.
Dari Event ke Makna
Sekolah tidak kekurangan acara. Yang kurang adalah kesadaran makna.
Ulang tahun sekolah seharusnya bukan soal “apa yang kita tampilkan”, melainkan:
apa yang kita pelajari,
nilai apa yang kita rawat,
dan budaya apa yang kita wariskan.
Jika tidak, maka setiap perayaan hanya akan menjadi ritual kosong: riuh di luar, hampa di dalam. Dan sekolah tanpa sadar sedang mendidik generasi yang fasih berpesta, tetapi gagap bertanya: untuk apa semua ini?
Di situlah pertarungan pikiran itu berlangsung: antara sekolah sebagai ruang pendidikan, atau sekadar panggung perayaan.
Dan pilihan itu, pada akhirnya, adalah pilihan kebudayaan.
Ajibarang, 17 Desember 2025
Tentang Penulis:
Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja adalah seorang guru IPA dan menulis esai reflektif mengaitkan sains, budaya, dan spiritualitas dalam narasi pendidikan humanistik. Ia percaya bahwa belajar bukan hanya tentang logika, tetapi juga tentang energi yang menghubungkan hati manusia

Posting Komentar