Oleh: Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Kita sedang menyaksikan gejala yang tak bisa dianggap sepele: generasi muda yang seharusnya tumbuh menjadi penerus bangsa, justru tampak kehilangan arah dan makna belajar. Guru dan orang tua resah, bukan karena anak-anak tak cerdas, tapi karena mereka seolah kehilangan kompas moral dan daya juang untuk hidup bermakna.
1. Ketika Semangat Belajar Meredup
Belajar, bagi sebagian besar anak kini, bukan lagi kebutuhan jiwa untuk tumbuh dan berubah, melainkan beban. Mereka menganggap sekolah sebagai rutinitas, bukan ruang pencarian makna.
Sekolah yang dulu menjadi tempat menyalakan api semangat kini lebih menyerupai pabrik nilai—tempat segala hal diukur dengan angka, bukan dengan makna. Kurikulum yang terus berganti memang membawa janji perubahan, tetapi di lapangan sering kali hanya menghadirkan kebingungan.
Kurikulum Merdeka, misalnya, indah di atas kertas, namun di ruang kelas kerap terbelit birokrasi digital dan pelaporan administratif yang melelahkan. Guru dihadapkan pada paradoks: di satu sisi mereka diminta kreatif dan menyenangkan, namun di sisi lain dibatasi oleh sistem yang kaku dan menuntut kepatuhan penuh. Tak sedikit guru akhirnya memilih jalan aman—mengajar sekadar memenuhi target, bukan menyalakan nyala belajar.
2. Dunia Digital yang Menggerus Nilai
Tantangan terbesar pendidikan kita hari ini bukan hanya pada kurikulum, tetapi pada disrupsi nilai yang disebabkan oleh arus teknologi digital.
Gawai dan media sosial yang seharusnya menjadi alat bantu belajar, kini berubah menjadi candu yang mengurung anak-anak dalam ruang virtual. Mereka hidup dalam pusaran scrolling tak berujung, mencari validasi dari jumlah likes dan followers, bukan dari kualitas karya dan karakter.
Game daring, konten hiburan, dan tontonan instan membuat generasi ini kehilangan kemampuan untuk sabar, fokus, dan berempati. Pikiran mereka menjadi “cekak, cethek, cupet, cunthel”—pendek nalar, dangkal rasa, sempit wawasan, dan tumpul kepekaan.
Di sinilah tragedi sesungguhnya: anak-anak kita tumbuh di dunia serba cepat, tapi tanpa arah yang jelas. Mereka canggih secara teknologi, tetapi miskin kearifan.
3. Guru di Persimpangan Jalan
Dalam pusaran perubahan ini, guru berdiri di garis depan dan sering kali menjadi pihak yang paling tersudut. Bila tegas, mereka dituding melanggar hak anak; bila lembut, dianggap tak berwibawa.
Ruang otoritas moral guru kian menyempit, sementara beban administratif semakin melebar. Banyak guru akhirnya terjebak dalam dilema: menjadi pendidik sejati atau sekadar operator sistem.
Padahal, guru sejatinya bukan hanya pengajar, melainkan penuntun jiwa. Mereka bukan sekadar menyampaikan materi, tapi membentuk makna hidup. Namun sistem yang terlalu menekankan prosedur dan laporan digital sering membuat peran luhur itu meredup.
Di sisi lain, banyak orang tua juga kehilangan peran pendidik utama di rumah. Anak dibekali fasilitas serba instan—ponsel mahal, kendaraan pribadi, uang jajan berlebih—tetapi tidak dibekali ketahanan menghadapi kesulitan. Akibatnya, tumbuhlah generasi yang pandai menuntut hak, tapi gagap menjalani tanggung jawab.
4. Ketika Pendidikan Kehilangan Jiwa
Semua ini menuntun kita pada pertanyaan paling mendasar: apakah pendidikan kita masih punya jiwa?
Ketika sekolah menjadi mesin administratif dan guru disibukkan dengan data, sementara anak-anak kehilangan makna belajar—maka pendidikan telah kehilangan ruhnya sebagai proses memanusiakan manusia.
Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, pernah mengingatkan:
“Pendidikan itu harus memberikan pengalaman kultural, agar nilai-nilai mulia terinternalisasi dalam diri peserta didik, supaya mereka dapat mentransformasikan nilai-nilai itu dalam menghadapi perubahan.”
Pendidikan yang sejati harus menghadirkan keindahan berpikir dan kebijaksanaan bertindak, bukan sekadar keterampilan teknis.
Senada dengan itu, Prof. Suyanto, Ph.D., Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, menegaskan:
“Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.”
Artinya, bila karakter tidak menjadi fondasi, maka pendidikan hanya akan menghasilkan generasi pintar tanpa arah, cerdas tanpa nurani.
5. Menyalakan Kembali Api Harapan
Meski kenyataan ini tampak kelam, harapan belum padam. Di banyak sekolah, masih ada guru yang mengajar dengan hati. Masih ada sekolah yang berjuang menciptakan ruang belajar yang hangat dan manusiawi, walau fasilitas terbatas.
Masih ada orang tua yang sabar menuntun, bukan hanya membiayai. Masih ada kepala sekolah yang terus memaknai tugasnya bukan sekadar administratif, melainkan kepemimpinan moral.
Mereka adalah lentera kecil yang menjaga cahaya di tengah gelap. Dari keteladanan merekalah masa depan bangsa bisa kembali menyala.
6. Menanam Pohon Kehidupan
Kini saatnya kita kembali ke akar pendidikan yang sejati. Kurikulum boleh berganti, teknologi boleh berkembang, tetapi nilai-nilai dasar tak boleh runtuh: kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, empati, dan cinta tanah air.
Mari kita ajarkan anak-anak untuk menanam pohon kehidupan:
Berakar pada nilai,
Bertumbuh dalam semangat,
Berbuah dalam kebajikan.
Sebab hanya dengan itulah generasi emas benar-benar lahir—bukan dari kemegahan fasilitas, tapi dari kedalaman jiwa yang terdidik dan tercerahkan.
Ajibarang, 7 November 2025
Tentang Penulis
Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja adalah Guru IPA di SMP N 2 Ajibarang dan penulis yang aktif dalam gerakan literasi sekolah. Tulisan-tulisannya menyoroti hubungan antara kemanusiaan, pendidikan, dan nilai-nilai moral di era digital, dalam bentuk cerpen, puisi dan artikel.


إرسال تعليق