Buku, Guru, dan Arah Peradaban Bangsa



Buku, Guru, dan Arah Peradaban Bangsa

Oleh : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja


Kenyataan yang Tak Bisa Kita Tutupi


Di Amerika Serikat, rata-rata seorang warga membaca 17 buku per tahun. Di Inggris, 15 buku. Di Jepang — buku telah menjadi bagian dari napas keseharian, seperti teh yang mengepul di tatami.


Di Indonesia? 5,91 buku per tahun. Dan itu pun kerap dibeli bukan untuk dibaca, melainkan dijadikan elemen dekorasi ruang tamu atau postingan media sosial.


Buku menjadi simbol prestise, bukan sarana peradaban


Teladan yang Terlupakan


Kita sering lupa: Republik ini lahir dari pena, bukan peluru semata. Para pendiri bangsa kita — mereka adalah pembaca ulung, penulis gigih, dan pemikir yang haus pada ilmu.


Mereka menulis di masa ketika kertas mahal, tinta langka, dan percetakan terbatas. Namun dari keterbatasan itulah lahir:


📘 Indonesia Menggugat – Soekarno: Sebuah gugatan moral terhadap kolonialisme yang lahir dari penjara, ditulis dengan kemarahan yang tercerahkan.


📗 Demokrasi Kita – Mohammad Hatta: Pemikiran jernih tentang demokrasi Pancasila, ditulis bukan dari gedung parlemen, tapi dari ruang sepi yang dipenuhi renungan.


📙 Menuju Republik Indonesia – Sutan Sjahrir: Sebuah manifesto kebangsaan dari seorang intelektual muda di usia 20-an yang lebih banyak membaca buku filsafat ketimbang menghadiri acara protokoler.


📕 Madilog – Tan Malaka: Perpaduan materialisme, dialektika, dan logika yang disusun dalam pengasingan, tetapi melampaui batas keilmuan zamannya.


Mereka menulis bukan untuk gaya hidup — tetapi karena hidup mereka tak punya arti tanpa gagasan.


Namun kini, setelah era cetak murah, kertas mudah, dan gadget tanpa batas, budaya membaca dan menulis justru lenyap dari genggaman. Ironis, bukan?


Krisis Literasi Para Guru


Guru yang minim literasi adalah salah satu akar persoalan bisingnya dunia pendidikan. 

Mari jujur: kita terlalu sibuk memperbaiki kurikulum, format asesmen, model zonasi, atau besar tunjangan. Padahal krisis paling mendasar justru terletak pada hal yang lebih sunyi: guru yang berhenti membaca.


Pertanyaannya:


Berapa guru yang membaca satu buku utuh dalam 6 bulan terakhir?

Berapa guru yang menulis refleksi mengajar?

Berapa sekolah yang punya forum guru untuk membicarakan isi buku, bukan sekadar daftar hadir?

Berapa guru yang punya tradisi pribadi membaca dan membeli buku untuk perpustakaan keluarga?

Semuanya memudar, seperti tinta yang tak pernah diperbarui.


Tak heran jika, di ruang kelas, kita jumpai buku pelajaran hanya sebagai alat hafalan. Padahal buku sejatinya adalah ruang dialog antara pengalaman hidup dan gagasan besar yang melampaui zaman.


Literasi sebagai Syarat Profesional


Satu Guru, Satu Buku, Satu Tahun

Dengan tunjangan profesi yang diterima, guru tidak hanya membawa amanah finansial, melainkan amanah intelektual. Maka minimal satu buku dalam setahun bukanlah beban, melainkan bentuk pengabdian kepada ilmu. Buku itu bisa berupa refleksi pembelajaran, inspirasi lokal, hingga cerita anak yang lahir dari ruang kelasnya sendiri.


Ekosistem Apresiasi Sesama Guru

Budaya apresiasi antarguru perlu diperkuat. Bukan sekadar saling memberi ucapan selamat, tetapi juga saling membeli dan membaca karya rekan sejawat. Dengan cara ini, sekolah bukan lagi sekadar tempat kerja, tapi menjadi rumah gagasan — tempat guru tumbuh karena saling membaca karya sesamanya.


Budaya Hadiah Intelektual

Pada momen-momen spesial — promosi, pensiun, atau perayaan Hari Guru — sudah saatnya kita mengganti bingkisan plastik dan karangan bunga dengan buku karya pribadi. Hadiah buku bukan hanya menyenangkan mata, tetapi juga menyuburkan pikir. Ia menjadi kenangan yang hidup, bukan sekadar objek yang dibuang setelah layu.


Inilah yang membedakan bangsa maju dan terbelakang: yang satu membangun sejarah dengan tulisan dan pemikiran, yang lain hanya memajang sertifikat.


Mengapa Menulis Itu Penting?


Karena menulis adalah:


Latihan berpikir

Menulis memaksa kita teratur dalam logika. Ia seperti cermin paling jujur, yang memantulkan apa yang ada dalam pikiran. Jika gagasan berantakan, tulisan pun kacau. Menulis merapikan pikiran — dan pikiran yang rapi adalah awal dari tindakan yang terarah.


Peta moral yang diurai dengan kata

Setiap kalimat dalam tulisan adalah pilihan nilai. Guru yang menulis sedang menata nilai moralnya sekaligus menularkan kompas etis pada murid-muridnya. Tulisan adalah jarak yang mengudara di antara hati, pikiran, dan nurani.


Jejak pengetahuan yang tak lekang

Buku akan tetap ada meski rumpang generasi berganti. Guru yang menulis memberikan hadiah ilmu kepada masa depan yang belum ia lihat — ilmu yang tak selesai saat ia wafat, tapi hidup dalam baris-baris kalimatnya.


Tindakan spiritual yang meninggalkan amal jariyah

Menulis adalah ibadah sunyi. Ia tidak gaduh di panggung, tetapi jernih di barisan doa. Rasulullah SAW mewariskan peradaban melalui kalimat yang ditransmisikan dan dituliskan — dan tinta para ulama menyejajarkan diri dengan darah para syuhada.


Pembelajaran Mendalam Dimulai Membaca


Deep learning atau pembelajaran mendalam bukan jargon, melainkan jiwa pengajaran. Ia butuh guru yang membaca bukan untuk mengisi lembar kerja, tapi untuk menyalakan api pemahaman.


Guru yang membaca dari medsos: mengajar dengan emosi.

Guru yang membaca dari buku: mengajar dengan jiwa dan pengalaman.

Guru yang membaca dan menulis: mengajar dengan kehidupan — dan meninggalkan jejak peradaban.


Masa Depan Indonesia dan Buku Bacaan


Kita mengagumi kemajuan negara lain, tetapi lupa bahan bakarnya: membaca dan menulis — di rumah, di kelas, di ruang publik. Kita bicara soal AI, ekonomi hijau, transformasi digital, tetapi lupa menyiapkan manusianya.


Jika ingin bangsa ini tegak dan kuat, mulailah dari yang sederhana, namun mendasar:


Guru membaca

Karena guru yang membaca bukan hanya menyampaikan kurikulum. Ia menyampaikan hidup yang pernah dipelajarinya.


Guru menulis

Karena menulis bukan sekadar kegiatan pribadi. Ia adalah peristiwa publik — sebuah warisan intelektual yang memperkaya komunitas belajar.


Sekolah berjejaring gagasan

Karena sekolah bukan lagi sekadar bangunan fisik, melainkan simpul pikiran, ruang hidup ide, dan rumah bagi pencarian makna.



Gerakan Nasional: Satu Guru, Satu Buku, Satu Cinta Ilmu

Satu Sekolah, Seratus Pembaca, Satu Jejak Peradaban Tiap Tahun


Bayangkan: jika setiap guru menulis satu buku dan setiap murid membaca satu buku karya gurunya, 20 tahun ke depan bukan hanya ada jutaan buku baru—tetapi jutaan pikiran yang tumbuh, berdebat, berdialog, dan bergerak mengubah negeri.



“Kita ini bangsa besar, kenapa rak buku kita masih kecil?”


Jangan jawab dengan janji. Jawab dengan buku. Menulislah agar semakin banyak jumlah bacaan.

Sejarah menunggu karya nyata, jangan biarkan  kertas kosong tanpa tulisan dan kelas kosong tanpa pertarungan pikiran — siapa pun kita, mari isi  dunia pendidikan dengan pemikiran.


Ajibarang, 3 Nov 2025


Penulis: Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja ( Guru IPA di SMP N 2 Ajibarang )


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama