Guru di Balik Bayang-Bayang Janji


Guru di Balik Bayang-Bayang Janji

Oleh: Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja


Bagian 1


Setiap 25 November, kita memperingati Hari Guru Nasional dengan penuh khidmat. Di halaman-halaman sekolah berkibar ucapan terima kasih dan hormat kepada para pendidik. Upacara berlangsung dengan barisan siswa yang rapi, pidato penuh puja-puji dari pejabat daerah, dan spanduk bergambar wajah guru dengan senyum lebar seakan semua baik-baik saja. “Guru Hebat, Indonesia Kuat,” demikian sebuah slogan besar dipajang di depan kantor dinas, seolah kata-kata itu mampu menjadi mantra yang dapat mengubah nasib pendidikan bangsa dalam semalam.


Namun, di balik gegap gempita itu, ada kenyataan yang tak pernah benar-benar ikut diperingati: ruang kelas yang hampir roboh, buku pegangan yang harus bergantian, hingga kesejahteraan guru honorer yang masih terombang-ambing seperti perahu kecil melawan gelombang takdir yang tak kunjung bersahabat.


Di sebuah SMP di sebuah kabupaten kecil yang namanya jarang muncul di berita—meski sekolah-sekolahnya ikut menopang masa depan republik—Bu Dewi duduk di ruang guru yang pencahayaannya redup. Ia sibuk menata berkas nilai, sebagian sudah lusuh karena sering dipindah-pindah. Sudah sebelas tahun ia mengajar, hampir tanpa absen, kadang harus berjalan cukup jauh saat motornya rusak. Ia hafal semua nama muridnya, hafal bakat mereka, hafal masalah keluarga sebagian dari mereka. Tapi sampai hari ini, ia belum hafal bagaimana caranya agar statusnya berubah menjadi ASN. Karena meski ia guru, ia tetap tidak bisa “mengajar” nasibnya sendiri.


“Anak saya ingin kuliah, Pak. Saya menabung pelan-pelan,” ujarnya suatu sore, sementara ia tetap tersenyum ramah pada siswa yang meminta tanda tangan untuk laporan kegiatan. “Sedangkan saya? Sudah sebelas tahun mengabdi sebagai guru honorer. Honor saya masih di bawah UMR. Saya terus menunggu… dan menunggu.” Suaranya lirih, seperti setiap kata keluar dengan beban yang ikut menekan dada.


Suami Bu Dewi hanyalah buruh harian lepas. Terkadang ada pekerjaan, lebih sering tidak. Maka penghasilan dari mengajar itu bukan sekadar pendapatan tambahan; itu penopang utama. Namun meski beban ekonomi menumpuk, ia tak pernah sekalipun mengurangi rasa sayangnya pada profesi yang disebutnya sebagai “panggilan jiwa”.


Kisah seperti Bu Dewi bukanlah satu-dua. Ia adalah satu titik dari potret besar bernama pendidikan Indonesia. Data Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) memperkirakan bahwa 1,75 juta guru di Indonesia berstatus honorer: lebih dari 52 persen dari total guru di sekolah negeri. Ironisnya, merekalah yang paling banyak mengisi ruang kelas, khususnya di daerah yang kekurangan ASN.


Menurut survei IDEAS, 74 persen guru honorer menerima upah di bawah UMR. Jika dihitung rata-rata per bulan, ada yang hanya menerima Rp300 ribu—Rp700 ribu. Dalam kurun satu tahun, jumlah itu mungkin bahkan belum cukup untuk membayar iuran pendidikan anak mereka sendiri.


Mereka inilah para guru yang menjadi fondasi, bukan pelengkap. Tanpa mereka, sekolah-sekolah di daerah akan lumpuh. Tetapi, teks-teks kebijakan seolah lupa menuliskan nama mereka di daftar prioritas.


Negeri ini terjangkit paradoks yang menggelikan:

Guru diminta menjadi matahari yang menerangi masa depan, tetapi tidak diberi energi untuk terus bersinar.

Guru diminta menjadi pilar moral bangsa, tetapi tidak diberi perlindungan ketika menghadapi kekerasan atau kriminalisasi dari pihak yang tak paham pendidikan.

Guru diminta profesional, tetapi status kerjanya ambigu seperti bayang-bayang yang tak jelas wujudnya.

Guru diminta inovatif, tetapi kesejahteraannya anemia, sehingga pikiran mereka hari-hari hanya terpaku pada “besok anak makan apa?”.


“Saya melihat setiap hari kerja keras guru honorer,” kata Bapak Hadi, Kepala SMP Negeri di Kabupaten X—tempat Bu Dewi mengajar. “Jam mengajar sama, tanggung jawab sama, bahkan beban administrasinya kadang lebih rumit dari guru ASN. Tapi honor dan status tidak sama. Ini membuat sekolah seolah memikul utang moral yang tidak bisa kami lunasi.”


Ia menghela napas panjang sebelum menambahkan, “Kalau mereka terus merasa dipinggirkan oleh sistem, motivasi mengajar pun terancam runtuh. Pada akhirnya, yang paling rugi adalah masa depan anak-anak.”


Dalam satu kalimat, persoalan ini bukan hanya tentang honor, melainkan nasionalisme pendidikan:

Jika guru dibuat tidak sejahtera, bagaimana mungkin mereka bisa mencerdaskan kehidupan bangsa?


Namun seperti sudah jadi tradisi, setiap Hari Guru kita sering berpesta pujian. Anak-anak membacakan puisi indah tentang pengorbanan guru, sering kali sambil menahan tawa gugup karena menghafalnya mendadak. Sementara yang dikorbankan itu sendiri duduk di bangku kecil di pinggir upacara, menatap gaji bulan depan yang belum jelas kapan cair.


Para pejabat naik podium, menyampaikan retorika standar:

“Teruslah mengabdi, tanpa pamrih!”

Kalimat yang paling sering keluar dari mereka yang hidupnya justru penuh pamrih jabatan.


Guru dituntut ikhlas. Tapi keikhlasan itu tetap butuh uang bensin untuk ke sekolah. Butuh kuota internet untuk membuat perangkat ajar digital. Butuh sepatu yang layak agar tidak malu ketika menjadi teladan siswa. Butuh makan tiga kali sehari untuk tetap bugar saat mengajar.

Manusia tetap manusia, walau profesinya mulia.


Pada hari itu, para guru menerima tepuk tangan sejenak. Namun keesokan harinya, takdir kembali berjalan seperti biasa: buku pelajaran usang, ruang kelas bocor jika hujan deras, honor harian yang lebih kecil daripada harga selembar spanduk perayaan Hari Guru.


Pendidikan memang fondasi bangsa. Tetapi saat ini, fondasi itu tidak hanya retak—melainkan kian keropos karena ketidakadilan struktural. Di kota-kota besar, guru mulai terbiasa dengan penilaian berbasis angka, aplikasi serba digital, dan pelatihan yang rutin. Tapi di pelosok, guru masih bertahan dengan papan tulis yang catnya mengelupas dan meja yang goyang ketika murid menulis terlalu semangat.


Dan jangan lupakan kurikulum yang terus berubah seperti cuaca politik. Guru honorer—yang sering kali tidak memiliki akses pelatihan memadai—dipaksa mengejar perubahan demi perubahan, hanya agar dokumentasi mereka tidak dianggap “tidak lengkap”.


Di balik semua itu, pertanyaan terus bergema:

Dalam sistem yang dibanggakan sebagai pendidikan masa depan ini, tempat guru honorer berada di sebelah mana?

Di awal bab? Di catatan kaki? Ataukah tidak tercatat sama sekali?


Ada satu kegelisahan yang puluhan tahun tidak pernah benar-benar mendapatkan jawaban. Guru honorer tidak pernah kekurangan semangat untuk mengabdi, tetapi justru sering kelebihan rasa cemas.


Mereka cemas jika sekolah mengurangi jam mengajar.

Cemas jika ada aturan baru—yang mereka tak sempat pelajari—datang mendadak.

Cemas jika sekolah digabung atau ditutup.

Cemas jika wajah mereka tidak masuk daftar penerima insentif daerah.

Cemas jika mereka terlalu jago mengajar, lalu dianggap “membahayakan” ego guru senior yang punya status ASN.


Mengabdi dalam kecemasan adalah bentuk perjuangan yang jarang dipahami publik.

Di balik perjuangan itu, ada kisah-kisah kecil yang tak pernah masuk pidato Hari Guru:

Seorang guru honorer menjual martabak mini sepulang sekolah.

Seorang guru honorer menjadi ojek online di malam hari.

Seorang guru honorer mengajar sambil menggendong anaknya karena tak mampu membayar biaya penitipan.

Seorang guru honorer berpura-pura kenyang ketika seorang murid mengajaknya makan siang bersama.Mereka adalah penyelenggara literasi sambil melawan kemiskinan.

Pendidik yang mengubah hidup siswa sambil terus bertahan dari tekanan hidup.

Pejuang yang tidak dilatari panggung besar, tetapi ruang kelas kecil yang kerap dilupakan.


Dan ketika kita berbicara tentang masa depan bangsa, jangan lupa bahwa masa depan bangsa itu berada beberapa meter di depan papan tulis, mendengarkan seorang guru—yang mungkin honor bulanannya tidak sebesar uang jajan anak pejabat.


Bu Dewi pernah mengatakan hal yang tampaknya sederhana, tapi sarat makna:

“Saya selalu bilang pada murid-murid, pendidikan itu bisa mengubah nasib. Saya hanya berharap, nasib saya juga bisa berubah karena pendidikan ini.”


Kalimat yang lahir dari seorang guru yang setia mendoakan keberhasilan orang lain, sambil tetap ragu terhadap keberhasilan nasibnya sendiri.


Bagian 2


Ada satu hal yang sering kita lupa: profesi guru bukan hanya pekerjaan yang dilakukan dari jam 07.00 hingga 15.00. Guru adalah pekerjaan yang merangsek masuk ke setiap ruang kehidupan. Setelah jam pelajaran selesai, mereka masih menyusun perangkat ajar, mengoreksi tugas, memikirkan murid yang tiba-tiba jadi pendiam, mendampingi kegiatan ekstrakurikuler, dan di sebagian sekolah, menjadi panitia segala kegiatan—mulai dari lomba tujuh belasan sampai perayaan Maulid Nabi.


Tetapi di bangsa yang kadang terlalu mahir membuat ironi, profesi yang menuntut pengabdian sepanjang waktu itu justru dihargai sepotong upah yang bahkan tidak cukup untuk menyambung hidup dengan wajar.


Mari kita melompat lebih jauh—ke pelosok yang tak disinggahi sinyal telepon seluler. Di sana, seorang guru honorer harus menempuh perjalanan yang berat: naik motor melewati jalan berbatu, menyeberangi sungai kecil ketika musim hujan, atau bahkan berjalan kaki hampir dua jam demi bertemu murid-muridnya. Ia tiba dengan sepatu yang berlumur lumpur, lalu berdiri di depan papan tulis sambil tersenyum—seolah tidak ada beban di balik wajahnya.


Pak Bima adalah salah satu dari mereka. Ia mengajar di sebuah sekolah di daerah pegunungan. Tidak ada toko buku di desanya. Tidak ada laboratorium IPA. Komputer yang dulu pernah dikirim sudah lama tak berfungsi. Tapi Pak Bima tetap membawakan pembelajaran berbasis proyek seperti yang diminta kurikulum terbaru—meski “produk akhirnya” hanya berupa poster sederhana di kertas karton bekas.


Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap bertahan, ia menjawab tanpa menoleh, sambil menatap deretan meja kayu yang sebagian kakinya diganjal batu:

“Kalau bukan kita, anak-anak ini belajar dengan siapa?”


Jawaban itu bukan sekadar jawaban. Itu sumpah sunyi. Itu janji tanpa publikasi.

Dan bangsa yang besar seharusnya menaruh hormat paling tinggi pada janji-janji sunyi seperti itu.


Dalam dunia pendidikan kita, guru honorer sering kali menjadi penyangga lintas generasi. Mereka adalah alasan mengapa sekolah-sekolah tertentu masih hidup. Tetapi status mereka sering kali “gantung”—seperti layang-layang yang ditahan angin politik. Setiap ada pergantian pemimpin, aturan baru muncul, regulasi berubah, dan janji-janji pengangkatan kembali dilontarkan. Tetapi realisasi selalu lebih lambat daripada publikasi.


Istilah “guru honorer” sendiri sudah seperti label ketidakpastian. Ia tidak datang dari peraturan yang jelas. Ia lahir dari kebutuhan mendesak sekolah karena kekurangan guru ASN. Ketika pemerintah pusat membuka moratorium penerimaan pegawai, sekolah tetap butuh guru untuk mengajar. Maka kepala sekolah dan komite pendidikan mencari solusi dengan merekrut tenaga honorer.


Mereka bukan rekrutan liar. Mereka rekrutan untuk menyelamatkan sistem.

Namun setelah beberapa tahun, negara mulai kesulitan menangani jumlah honorer yang membengkak. Maka muncullah berbagai istilah baru: Tenaga Honorer K-II, PPPK, Non-Kategori, dan entah apa lagi sebutannya nanti.


Regulasinya berubah-ubah. Harapannya naik-turun. Nasibnya bergantung pada anggaran, kebijakan pusat-daerah, dan skor passing grade yang kadang tak mempertimbangkan pengalaman bertahun-tahun mengajar di pelosok.


Sungguh, perjalanan mereka seperti menunggu pintu yang terus berganti gembok.


Dan meski guru honorer menanggung beban yang besar, di sebagian tempat mereka justru diperlakukan seperti “pengurus kegiatan”. Setidaknya satu cerita umum selalu terdengar dari sekolah-sekolah: jika ada acara, guru honorer yang paling pertama diperintah; jika ada kesempatan kesejahteraan, mereka yang paling terakhir ditanya.


Ada kepala sekolah yang akan berkata, “Begini saja sudah syukur kamu dapat jam mengajar.” Sebuah kalimat yang terdengar seperti ucapan terima kasih terbalik: bukan penghargaan, tapi pengingat posisi sosial yang hendak membuat mereka tunduk.


Seolah mengajar adalah ucapan terima kasih kepada negara yang telah menyediakan papan tulis.

Padahal, papan tulis itu mereka beli sendiri.

Mungkin kita perlu kembali mengulang sejarah. Di masa awal kemerdekaan, guru adalah kaum yang dijunjung tinggi. Mereka bukan hanya pendidik, tetapi tokoh masyarakat, pemimpin moral, pencerah pemikiran, bahkan perintis pembangunan desa. Banyak di antara mereka menjadi motor perlawanan terhadap kebodohan yang sengaja dipelihara oleh kolonialisme.


Namun hari ini, sebagian guru—khususnya honorer—malah berjuang melawan kemiskinan yang dipelihara oleh birokrasi.


Seperti kata Bu Dewi,

“Kadang saya merasa berdiri di depan kelas dengan pakaian yang rapi, tetapi harga diri saya compang-camping.”


Kebijakan demi kebijakan dilahirkan. Di ruang rapat pemerintah, begitu banyak pembicaraan tentang pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan. Banyak dokumen menuliskan kata “transformasi” dan “reformasi”.


Namun jika kebijakan itu tidak menyejahterakan guru honorer, maka ia tidak lebih dari sekadar kata-kata indah pada kertas mewah.


Sementara di dunia nyata:

Guru masih berhutang di warung.Guru menunggu kabar dari dinas.Guru menatap kalender, mencari tanggal yang cocok untuk meminjam uang.


Betapa menyakitkan ketika profesi yang diharapkan mengubah nasib orang banyak malah sulit mengubah nasib pelakunya sendiri.


Perlahan-lahan, sebagian guru honorer mulai merasa malu pada diri mereka sendiri. Bukan karena profesinya tidak mulia, tetapi karena kehidupan mereka yang terus dalam batas wajar yang terlalu tipis. Mereka mulai bertanya: apakah pengabdian ini hanya akan berakhir pada daftar terima kasih di buku tahunan kelulusan?


Ada yang akhirnya putus asa lalu berhenti mengajar.

Ada yang berpindah profesi menjadi sales ponsel karena lebih menjanjikan.

Ada pula yang merantau menjadi buruh bangunan—di hari-hari ketika seharusnya ia bisa berdiri di depan siswa, mengajarkan ilmu.


Saat seorang guru memilih meletakkan spidolnya karena tidak lagi mampu bertahan hidup, pada saat yang sama sebuah masa depan anak bangsa ikut pudar.


Namun meski semua pahit itu menghantam, sebagian besar guru honorer tetap bertahan. Mereka melangkah ke sekolah setiap pagi, menyapa murid-muridnya dengan semangat yang tak pernah pudar. Karena ada satu hal yang tak pernah bisa dihilangkan dari seorang guru: keyakinan bahwa ilmu itu selalu lebih kuat daripada rasa putus asa.


Mereka menyadari bahwa profesi mereka bukan sekadar mencari nafkah. Mengajar adalah cara untuk meneruskan kehidupan. Menyalakan masa depan. Menjaga harapan.


Yang mereka butuhkan bukan belas kasihan.

Yang mereka inginkan bukan pujian tanpa perubahan.

Yang mereka harapkan hanya satu: keadilan untuk masa depan profesi yang mereka cintai.


Mari kita lihat apa yang sesungguhnya menjadi luka terdalam dalam sistem pendidikan kita:

ketika profesionalisme dijadikan tuntutan, tetapi tidak dijadikan hak.


Guru harus berpendidikan minimal S1.Guru harus mengikuti pendidikan profesi.Guru harus lulus sertifikasi.Guru harus memiliki portofolio.

Guru harus memiliki akun belajar yang aktif dan selalu digunakan.Guru harus mengikuti pelatihan dan seminar—seringkali mengeluarkan biaya sendiri.


Tetapi ketika mereka mengetuk pintu hak yang seharusnya mengikuti profesionalisme itu… jawaban pemerintah hanya datang dalam bentuk rencana. Atau wacana. Atau pembahasan anggaran yang tak kunjung rampung.


Guru mengajarkan kejujuran kepada siswa.Tetapi janji pada guru sering kali tidak jujur.


Dalam struktur sosial bangsa ini, guru adalah aktor utama dalam pembangunan karakter. Namun di dalam struktur kebijakan, guru honorer lebih sering menjadi angka statistik.


Mereka ditempatkan di kotak-kotak kategori:

sudah linear atau belum

sudah ikut seleksi atau belum

sudah memenuhi passing grade atau belum

sudah masuk sistem atau masih nyasar di data


Kadang mereka merasa seperti sedang ikut permainan video yang terus naik level, tetapi hadiahnya tidak pernah benar-benar bisa dimenangkan.

Satu kali masih bisa bersabar.Dua kali masih bisa berharap.Namun jika berkali-kali, bahkan keajaiban pun lelah dipinta.


Hari Guru selalu dirayakan setiap tahun. Tetapi apakah itu benar-benar perayaan? Ataukah mekanisme untuk menenangkan hati para guru agar tidak menuntut terlalu keras? Karena setiap kali keluhan memuncak, tak lama kemudian akan datang momen selebrasi.


Dan kita tahu, selebrasi adalah cara paling halus untuk membuat seseorang merasa dihargai sementara kebutuhannya belum terpenuhi.


Tepuk tangan menggema.

Foto-foto penuh senyuman diunggah di media sosial.

Ucapan-ucapan manis dibacakan oleh siswa dan pejabat.


Namun esok hari, masalahnya tetap sama:

Guru kembali ke rumah dengan sepeda motor tua, mencari sisa-sisa semangat untuk bulan depan.


Sejumlah tokoh pendidikan pernah mengingatkan bahwa kualitas pendidikan tidak pernah bisa melebihi kualitas guru. Dan kualitas guru tidak akan pernah bisa bertahan dalam sistem yang memperlakukan mereka secara tidak adil.


Guru bisa mengajar matematika dengan metode terbaik.Guru bisa membuat kelas literasi dengan kreativitas tinggi.

Guru bisa melahirkan siswa berprestasi.

Tetapi bagaimana mungkin guru bisa mengembangkan diri jika seluruh energi habis hanya untuk bertahan hidup?


Untuk berinovasi, seseorang harus bebas dari rasa lapar.

Untuk berpikir jernih, seseorang harus terlepas dari kecemasan dasar.


Guru tidak butuh kemewahan.Guru hanya butuh kepastian.


Kepastian untuk mengajar tanpa dihantui rasa takut akan kehilangan jam.

Kepastian untuk menghidupi keluarga tanpa bergantung pada belas kasihan.

Kepastian bahwa masa depan mereka tidak berakhir dalam status yang menggantung.


Sebuah bangsa yang ingin cerdas harus terlebih dahulu menghormati akal yang mencerdaskannya.


Bu Dewi pernah duduk termenung di depan papan tulis, melihat tulisan-tulisan muridnya. Ia berkata,

“Saya bangga pada murid-murid saya yang terus semangat belajar. Tapi saya selalu bertanya: apakah saya masih bisa bangga menjadi guru, kalau saya sendiri tidak pernah dianggap penting oleh negara?”


Pertanyaan itu seperti hentakan yang pelan tapi menghujam. Ia bukan keluhan yang cengeng. Ia adalah kritik dari orang yang mencintai profesinya terlalu dalam.

Tentu, cinta pada profesi harus tetap hidup. Tetapi cinta yang dibiarkan kelaparan akan mati oleh kenyataan.


Bagian 3 — Penutup


Jika kita mau jujur, permasalahan guru honorer bukan hanya persoalan administrasi. Ia adalah puncak dari gunung es persoalan pendidikan yang lebih besar. Di bawah permukaan, ada persoalan pendanaan pendidikan yang belum sesuai amanat undang-undang, ada ketimpangan antar wilayah, ada birokrasi yang merumitkan, dan ada kaca mata pembangunan yang masih memandang pendidikan sebagai beban anggaran, bukan investasi jangka panjang.


Kita menginginkan generasi emas, tetapi mengabaikan para pandai besi yang menempanya.


Ada ungkapan lama:

“Tak ada murid hebat tanpa guru hebat.”

Lalu bagaimana mungkin lahir guru hebat jika sejak awal mereka tidak diberi posisi yang layak untuk berdiri tegak?


Di setiap obrolan para guru honorer, selalu ada tiga kata yang menjadi pusat harapan:


Kepastian – Kesejahteraan – Penghargaan


Tiga kata sederhana itu sesungguhnya merupakan fondasi utama profesi apa pun. Tetapi bagi guru honorer, ketiganya masih seperti janji yang ditulis di awan: terlihat indah, namun menguap sebelum terwujud.


Padahal yang mereka hadapi sehari-hari bukan awan, melainkan tanah keras kenyataan.


Kepastian


Status kerja yang jelas. Perlindungan hukum yang pasti. Kepastian diakui sebagai tenaga profesional. Tidak diseret-seret dalam ketidakpastian panjang yang membuat mereka merasa “ada tapi tiada” di sistem kepegawaian negeri.


Ketika guru honorer bertanya, “Saya ini sebenarnya siapa di mata negara?”

Itu bukan pertanyaan identitas, tapi jeritan eksistensi.


Kesejahteraan


Gaji yang cukup bahkan untuk hidup sederhana. Akses kepesertaan jaminan sosial: kesehatan, ketenagakerjaan, dan pensiun. Serta kesempatan yang adil untuk berkembang: pelatihan, studi lanjut, peningkatan karier.

Seorang guru tidak boleh lagi memilih antara membeli buku untuk muridnya atau membeli beras untuk anaknya.


Penghargaan


Ini lebih dari sekadar tepuk tangan pada Hari Guru. Penghargaan berarti pengakuan bahwa profesi guru adalah inti peradaban. Penghargaan berarti menghormati ilmu, etos, dan dedikasi yang menjadi bahan bakar masa depan bangsa.


Jika guru disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”, maka pahala profesinya tidak boleh hanya berupa gelar puitis yang tak bisa diuangkan di warung sembako.


Harus kita akui, ada pula guru honorer yang kualitasnya masih perlu ditingkatkan. Namun kesalahan terbesar adalah ketika negara menyalahkan individu atas kegagalan sistem yang membentuknya. Bagaimana bisa menuntut mutu tinggi jika infrastruktur peningkatan mutu begitu mahal atau sulit diakses?


Seorang guru menulis di grup diskusi,


 “Untuk ikut diklat, saya harus izin beberapa hari. Kalau izin mengajar, jam saya dikurangi. Kalau jam berkurang, honor saya berkurang. Lalu bagaimana saya bisa meningkat?”


Itu adalah paradoks yang menyandera langkah guru untuk tumbuh.


Sistem pendidikan yang baik bukan hanya menuntut profesionalisme, tetapi menyediakan ruang yang adil untuk menjadi profesional.


Bicara soal peran organisasi profesi, seperti PGRI misalnya, ia memiliki posisi yang strategis. Namun seberapa keras pun mereka berteriak, perubahan tetap berada di tangan pengambil keputusan tertinggi bangsa ini. Kita membutuhkan keputusan politik besar untuk mengakhiri ketidakadilan yang sudah berakar panjang.


Sudah terlalu lama nasib guru honorer diremukkan oleh argumen “anggaran terbatas”. Padahal, bangsa ini tak pernah ragu menggelontorkan anggaran besar untuk hal-hal yang tidak menyentuh masa depan kecerdasan bangsa.


Ketika prioritas tidak jelas, masa depan pendidikan pun kabur.


Dan ya, masyarakat juga berperan. Kita terlalu sering menilai guru dari jenis kendaraan yang ia pakai, cara berpakaiannya, atau gaya hidupnya. Padahal di balik itu semua, mereka terus menyembunyikan kesulitan.


Banyak guru memilih diam.

Bukan karena pasrah.

Tetapi karena harga diri mereka lebih tinggi dari gaji mereka.


Karena mengeluh terlalu sering hanya akan membuat mereka tampak seperti sedang mengemis haknya sendiri.


Padahal hak itu bukan sedekah dari siapa pun.

Hak itu melekat pada pengabdian dan kompetensi yang mereka miliki.


Sekarang, izinkan saya mengajak kita melihat ke dalam:

Apa yang akan terjadi jika satu demi satu guru honorer memutuskan berhenti?

Siapa yang akan mengajar anak-anak di desa?

Siapa yang akan menyusun masa depan negeri ini?

Apa jadinya Indonesia tanpa guru honorer?


Pertanyaan itu bukan untuk ditakuti, tetapi untuk diresapi.

Karena keberadaan mereka sesungguhnya sedang menahan pendidikan kita dari ambang krisis besar.


Suatu hari, Bu Dewi berkata dengan suara yang menahan tangis,

“Kalau nanti saya berhenti mengajar, saya takut anak-anak itu kehilangan seseorang yang percaya mereka bisa jadi apa saja.”


Lihatlah:

Guru tidak hanya mengajarkan ilmu.Guru mengajarkan keyakinan pada diri sendiri.Guru meyakinkan muridnya bahwa setiap anak layak bermimpi.


Tetapi bagaimana jika gurunya sendiri dipaksa berhenti bermimpi?


Pemerintah sering mengingatkan guru untuk beradaptasi, meningkatkan kompetensi, dan terus menjadi inovator. Itu benar. Tetapi kapasitas inovasi tidak tumbuh dari ketidakpastian dan kekhawatiran.


Jika negara ingin pendidikan maju, maka perkara pertama yang harus dibereskan adalah nasib guru honorer. Karena mereka bukan hiasan di poster Hari Guru. Mereka bukan figuran di panggung pendidikan nasional. Mereka adalah pemeran utama yang selama ini terus bekerja meski namanya sering luput dipanggil.


Bangsa ini tidak akan pernah benar-benar melompat jauh ke depan jika fondasi pendidiknya masih rapuh dan diabaikan.


Setiap 25 November, puisi-puisi berseliweran tentang dedikasi guru.

Anak-anak membacanya dengan penuh rasa.

Guru menatap mereka dengan senyum bangga.


Namun jauh di kedalaman hati, ada harapan lirih:

“Semoga tahun depan, ketika Hari Guru tiba, status saya sudah jelas.”

“Semoga tahun depan saya bisa beli baju baru untuk acara upacara.”

“Semoga tahun depan saya tidak perlu lagi meminjam uang untuk beli bensin.”


Ini bukan mimpi besar.

Ini kebutuhan dasar manusia untuk hidup layak.


Dan negeri sebesar Indonesia harusnya tidak kesulitan mengabulkannya.


Kiranya Hari Guru tidak lagi menjadi panggung seremonial yang hanya memperlihatkan indahnya kata-kata. Hari Guru seharusnya menjadi momentum refleksi nasional: sejauh apa negara memperlakukan mereka yang memikul misi mencerdaskan kehidupan bangsa?


Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang memuliakan guru.

Bukan memujinya di spanduk, lalu melupakannya keesokan hari.


Ketika semua sudah kita bicarakan, kita akan menemui satu kesimpulan mendasar:


“Pendidikan bukan hanya tentang masa depan murid. Pendidikan adalah tentang masa depan para guru yang akan membimbing murid-murid itu menuju masa depan.


Jika guru dibiarkan terpinggirkan, maka masa depan bangsa pun dipinggirkan.


Jika guru tidak dijaga martabatnya, maka masa depan bangsa pun kehilangan martabatnya.


Untuk itu, izinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah seruan yang sederhana namun tegas:


“Sudah saatnya negara berhenti berjanji dan mulai memenuhi janji.

Sudah saatnya guru honorer tidak lagi berdiri di bawah bayang-bayang.

Sudah saatnya kita memuliakan guru bukan dengan kata, tapi dengan kebijakan nyata.

Karena mereka tidak meminta lebih.Mereka hanya meminta yang seharusnya.


Haknya.Martabatnya.Masa depannya.

Dan ketika kita akhirnya memuliakan guru dengan sebenar-benarnya penghormatan…

Barulah kita pantas berkata:

Guru Hebat, Indonesia Kuat.


Ajibarang, 25 Nop 2025



Tentang Penulis:

Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja adalah seorang guru  IPA dan menulis esai reflektif mengaitkan sains, budaya, dan spiritualitas dalam narasi pendidikan humanistik. Ia percaya bahwa belajar bukan hanya tentang logika, tetapi juga tentang energi yang menghubungkan hati manusia

Post a Comment

أحدث أقدم