Menurut sumber internal KPK, operasi dimulai sekitar pukul 14.00 WIB dan berlangsung hingga malam hari. Kepala Dinas PUPR Riau, Arief Setiawan, bersama beberapa orang lainnya langsung dibawa ke Gedung Merah Putih KPK di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan intensif. Mereka diduga terlibat dalam praktik suap serta mark-up anggaran proyek infrastruktur senilai miliaran rupiah.
Keesokan harinya, Selasa (4/11/2025), Gubernur Abdul Wahid tiba di Gedung KPK pukul 09.36 WIB. Ia datang bersama tim kuasa hukum dan memilih irit bicara di hadapan awak media. “Saya akan memberikan penjelasan di dalam,” ujarnya singkat sebelum memasuki gedung.
Proyek flyover yang menjadi pusat perhatian OTT ini merupakan bagian dari program pembangunan infrastruktur jalan tol di Riau, dengan pendanaan gabungan dari APBD dan dana pusat. Dugaan korupsi mencakup pengaturan tender, pembayaran fiktif, serta penyimpangan administrasi yang berpotensi merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Pihak KPK menyatakan akan segera menetapkan status hukum terhadap pihak-pihak yang diamankan dan mengembangkan penyidikan lebih lanjut. Kasus ini menambah panjang daftar operasi antikorupsi di sektor publik, sekaligus menegaskan beratnya tantangan dalam pengelolaan proyek infrastruktur pemerintah.
Lebih jauh, kasus OTT di Dinas PUPR Riau ini mengungkap masalah struktural dalam tata kelola organisasi sektor publik di Indonesia. Praktik korupsi semacam ini kerap muncul akibat lemahnya mekanisme kontrol internal—mulai dari audit yang tidak independen hingga pengawasan yang kurang ketat.
Dalam proyek besar seperti pembangunan flyover, koordinasi antara pemerintah daerah dan pihak swasta sangat rentan terhadap konflik kepentingan jika tidak diimbangi dengan transparansi pada setiap tahap, terutama dalam proses tender dan pelaksanaan proyek.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya penerapan prinsip good governance yang berlandaskan akuntabilitas, efisiensi, dan integritas. Pejabat publik, seperti kepala dinas dan gubernur, memegang peranan sentral dalam pengelolaan sumber daya negara. Dugaan keterlibatan mereka menandakan adanya kegagalan dalam sistem manajemen risiko publik, yang berdampak pada pemborosan anggaran dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah.
Untuk mencegah kasus serupa, diperlukan langkah reformasi nyata: penerapan sistem e-procurement yang lebih transparan, pelatihan antikorupsi bagi aparatur, serta penguatan peran lembaga pengawas seperti KPK.
Kasus ini menjadi pelajaran bahwa pembangunan sektor publik seharusnya berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan sosial, bukan sekadar mengejar capaian fisik proyek. Hanya dengan integritas dan tata kelola yang bersih, pembangunan dapat benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat.
***
PROFIL PENULIS
Sahda Ega Parahita, S.Tr.IP
Mahasiswi S2 Magister Administrasi Publik Universitas Jenderal Soedirman


إرسال تعليق