Fatherless, GEMAR, dan Para Wayang yang Tak Pernah Ambil Raport



Fatherless, GEMAR, dan Para Wayang  yang Tak Pernah Ambil Raport

Oleh : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja


Di negeri yang gemar membuat singkatan, kita kembali menemukan satu mantra baru: fatherless. Kata ini diucapkan dengan nada prihatin, seperti dalang membuka adegan gara-gara. Semua terlihat serius. Semua tampak darurat. Seolah tanpa kehadiran ayah khususnya di momen mengambil rapor masa depan bangsa bisa langsung error system.


Lalu muncullah GEMAR: Gerakan Ayah Mengambil Raport.

Tepuk tangan dulu.

Gerakan ini tampak heroik, maskulin, sekaligus fotogenik. Ayah datang ke sekolah, tanda tangan, senyum, selfie. Pendidikan pun seakan-akan langsung naik derajat.

 

Masalahnya, dalam dunia kebudayaan, simbol sering kali lebih ribut daripada makna. Dan kita entah sejak kapan terlalu sering jatuh cinta pada simbol.

 

Dalam dunia wayang, tidak ada satu pun adegan Ayah (Bapa) Wayang mengambil rapor. Tidak pernah ada adegan Bima duduk di bangku wali murid. Bahkan Arjuna pun, dengan segala ketampanannya, tak pernah dipotret sedang menunggu pembagian hasil belajar semester ganjil. Tapi anehnya, tokoh-tokoh itu tetap tumbuh menjadi manusia atau ksatria yang utuh.

 

Mengapa?

Karena dalam kebudayaan, manusia dibentuk oleh laku, bukan oleh absensi administratif.

 

Ayah yang Pergi, Ayah yang Hadir

 

Mari kita bicara jujur, tanpa perlu suara tinggi. Dalam kehidupan nyata, banyak ayah tidak hadir di rumah atau di sekolah bukan karena tak peduli, melainkan karena hidup tidak bisa dinegosiasikan dengan slogan.

 

Ayah berangkat pagi, pulang malam. Ayah merantau. Ayah bekerja lintas kota, lintas pulau. Dalam kacamata kebijakan, mungkin ia “tidak hadir”. Tapi dalam kacamata anak, sering kali justru dari situlah pelajaran hidup dimulai: tentang tanggung jawab, tentang bertahan, tentang diam-diam berkorban.

 

Dalam pewayangan, Bima tidak tumbuh dalam dekapan ayah yang hangat dan intens. Pandu wafat lebih awal. Bima tumbuh keras, liar, ditempa guru dan alam. Tapi justru dari situ lahir karakter yang tegak, jujur, dan tak suka basa-basi. Tidak manis, tapi lurus.

 

Hari ini, barangkali kita sedang membalik logika itu. Ayah diminta hadir secara fisik, tapi lupa ditanya: hadir sebagai apa?

 

Hadir sebagai tanda tangan? Hadir sebagai formalitas? Atau hadir sebagai manusia yang betul-betul menjalin dialog batin dengan anaknya?

 

Sekolah Gratis, Orang Tua Santai

 

Dulu, ketika sekolah mahal dan hidup berat, orang tua meski sibuk punya kesadaran kuat: pendidikan itu perkara serius. Anak tak boleh main-main. Bahkan jika orang tua tak bisa datang, anak diminta bertanggung jawab penuh. Ada rasa malu jika nilai jatuh. Ada rasa bangga jika prestasi naik.

 

Hari ini, ketika banyak hal digratiskan dan dimudahkan, justru muncul kelonggaran aneh. Sekolah dianggap urusan negara. Guru dianggap mesin. Sistem dianggap dewa penolong. Orang tua cukup hadir sesekali, asal ada foto.

 

Lalu ketika hasil pendidikan tidak sesuai harapan, muncul istilah baru. Diberi nama ilmiah. Diberi label sosial. Salah satunya: fatherless.

 

Seolah-olah semua persoalan pendidikan bisa diringkas menjadi satu kata. Padahal hidup tidak pernah sesederhana poster kampanye.

 

Wayang Tidak Mengenal Fatherless

 

Mari kita pinjam kacamata wayang sebentar.

 

Abimanyu gugur muda. Ayahnya, Arjuna, tidak selalu hadir secara fisik. Tapi nilai-nilai kepahlawanan ditanamkan melalui cerita, laku, dan teladan. Abimanyu tahu kapan harus maju, kapan harus bertahan, kapan harus mati dengan hormat. Itu bukan hasil rapor. Itu hasil internalisasi nilai.

 

Gatotkaca bahkan lebih ekstrem. Ia ditempa sejak bayi. Dijatuhkan. Dibenturkan. Dibakar. Dicelupkan. Tidak ada seminar parenting. Tidak ada modul GEMAR. Tapi lahirlah ksatria yang terbang menjaga langit Amarta.

 

Dalam budaya, anak tidak dibesarkan oleh kehadiran satu figur saja. Ia dibesarkan oleh komunitas nilai: ibu, ayah, guru, lingkungan, bahkan penderitaan.

 

Ketika kita memaksakan satu model ideal ayah harus begini, harus begitu kita sedang mengabaikan keragaman cara hidup yang sejak lama justru menjadi kekuatan bangsa ini.

 

GEMAR: Simbol yang Perlu Hati-Hati

 

Mari bersikap adil. GEMAR bukan ide jahat. Ia lahir dari kegelisahan yang wajar: keterlibatan orang tua dalam pendidikan memang perlu diperkuat. Tapi ketika sebuah gerakan terlalu menekankan satu aktor, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya:

 

Apakah pendidikan sesederhana itu? Apakah kehadiran ayah di sekolah otomatis memperbaiki relasi di rumah? Apakah anak merasa lebih didengar hanya karena ayah datang mengambil rapor?

 

Dalam budaya Jawa, ada pepatah halus: aja mung katon, nanging kudu krasa. Jangan hanya terlihat, tapi harus terasa.

 

Pendidikan yang sehat bukan soal siapa yang datang ke sekolah, melainkan siapa yang hadir dalam keseharian anak dalam percakapan, dalam keteladanan, dalam sikap hidup.

 

Satir Kecil untuk Kita Semua

 

Bayangkan jika suatu hari wayang modern digelar.

Dalang berkata: “Para ksatria kalah perang karena ayahnya tidak mengambil rapor.”

Penonton tertawa. Bukan karena lucu, tapi karena absurd.

 

Masalah pendidikan kita terlalu kompleks untuk diselesaikan dengan satu gerakan simbolik. Tapi kita sering tergoda pada solusi instan yang enak difoto, mudah dilaporkan, dan aman secara administratif.

Padahal pendidikan bukan panggung seremoni. Ia adalah proses sunyi, panjang, dan sering kali melelahkan.

 

Penutup: Jangan Salah Sasaran

 

Fatherless bukan sekadar soal ayah yang tak hadir. Bisa jadi, ia adalah cermin kegagalan kita memahami hidup orang lain. Dan lebih parah lagi, kegagalan kita membedakan antara simbol dan substansi.

 

Ayah yang baik tidak selalu hadir di sekolah. Tapi ia selalu hadir dalam nilai. Dan pendidikan yang sehat tidak lahir dari kewajiban simbolik, melainkan dari kesadaran kolektif untuk mendidik dengan akal, dengan rasa, dan dengan kebudayaan.

 

Wayang mengajarkan satu hal penting: ksatria sejati lahir dari laku, bukan dari laporan.

Dan mungkin, masalah kita hari ini bukan kekurangan ayah, melainkan kelebihan slogan.

 

Ajibarang, 19 Desember 2025



Tentang Penulis:

Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja adalah seorang guru  IPA dan menulis esai reflektif mengaitkan sains, budaya, dan spiritualitas dalam narasi pendidikan humanistik. Ia percaya bahwa belajar bukan hanya tentang logika, tetapi juga tentang energi yang menghubungkan hati manusia

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama