Mengapa Sekolah Masih Tersandung Soal Integritas
Oleh: Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Di tengah gempuran teknologi, kurikulum yang terus diperbarui, serta jargon inovasi yang berderet seperti papan nama di sebuah seminar, sekolah kita masih menyimpan satu batu kecil yang terus membuatnya tersandung: integritas. Batu kecil itu kadang tertutup karpet administrasi yang rapi, kadang disapu ke sudut ruang guru, kadang bahkan dijadikan pijakan untuk melompat demi kepentingan tertentu. Namun ia tidak pernah benar-benar hilang.
Dan inilah ironi terbesar di republik pendidikan kita: sekolah mengajarkan kejujuran dengan suara lantang, tetapi sering gagap ketika harus mempraktikkannya.
Korupsi Itu Tidak Selalu Butuh Koper
Kita sering membayangkan korupsi sebagai tindakan dramatis: uang dalam koper, proyek fiktif, angka miliaran. Padahal, di sekolah, korupsi lebih mirip kabut tipis: tidak mencolok, namun merayap pelan, masuk ke sela-sela kebiasaan.
Ada bentuk-bentuk kecil yang sering dianggap biasa saja:
• pemotongan anggaran kegiatan tanpa laporan jelas
• markup pembelian ATK atau peralatan sekolah
• pungutan yang tidak sepenuhnya transparan
• laporan kegiatan yang “disesuaikan” agar selaras dengan harapan atasan
• penggunaan fasilitas sekolah untuk kepentingan pribadi.
Semua tanpa tepuk tangan, tanpa sirene. Tetapi dampaknya jauh lebih panjang daripada yang kita duga.
Kita sering memakluminya karena skala yang kecil. Padahal, yang kecil itulah yang membangun kultur. Dan kultur adalah bahasa yang paling cepat ditiru oleh murid.
Anak-anak tidak belajar integritas dari poster di dinding, tetapi dari cara orang dewasa menjalankan kewajiban, menyampaikan laporan, atau mengelola anggaran. Di titik inilah pendidikan kehilangan suaranya sendiri.
Kepala Sekolah: Antara Pelayan Publik dan Petugas Administrasi
Banyak kepala sekolah hari ini tidak hanya mengajar, memimpin, atau membimbing. Mereka juga ditarik-tarik oleh tuntutan administratif yang tanpa ampun: Dapodik, evaluasi, verifikasi, laporan BOS, dan setumpuk instrumen yang seolah ingin memastikan bahwa tidak ada selembar daun pun bergeser tanpa diketahui sistem pusat.
Di tengah tekanan itu, sebagian memilih jalan pintas: menyederhanakan realitas demi “kelancaran laporan”. Sebagian lagi terperangkap transaksi antara ketertiban administratif dan kebutuhan operasional yang bergerak cepat.
Sementara publik tetap menuntut sekolah menjadi benteng moral, regulator menuntutnya menjadi mesin pengolah data. Di ruang sempit di antara keduanya, integritas diuji setiap hari.
Sistem yang Baik Tidak Akan Menolong Karakter yang Lemah
Kadang kita terjebak dalam anggapan bahwa yang kita butuhkan hanyalah sistem yang lebih canggih. Padahal tidak ada algoritma yang bisa menggantikan watak.
Sistem dapat membantu transparansi, tetapi sistem tidak bisa memaksa orang jujur. Ia hanya mengelola perilaku, bukan membentuk nurani.
Integritas hanya tumbuh dari pilihan sadar: pilihan untuk mengatakan “tidak” pada kesempatan menyimpang, meski tidak ada yang melihat.
Ketika kepala sekolah memilih jujur meski anggaran seret, itu pendidikan.
Ketika guru menolak laporan fiktif meski acaranya terancam tidak cair, itu pendidikan.
Ketika sekolah memilih transparan meski tidak populer, itu pendidikan.
Dan pendidikan yang paling berhasil adalah yang tidak perlu diumumkan.
Mengapa Kita Perlu Keberanian?
Setiap kepala sekolah, setiap guru, setiap tenaga kependidikan pada dasarnya sedang memikul dua profesi sekaligus: pendidik dan penjaga masa depan bangsa. Tetapi menjadi penjaga masa depan memerlukan keberanian yang tidak selalu tampak dalam kurikulum.
Keberanian untuk:
• menolak praktik yang sudah dianggap “lumrah”
• menegakkan aturan meski dianggap tidak fleksibel
• menghadapi tekanan pihak-pihak yang ingin sekolah menjadi alat kepentingan
• menjaga uang sekolah seperti menjaga uang amanah keluarga sendiri
Keberanian semacam ini tidak selalu mendapat tepuk tangan. Bahkan sering justru memperoleh cibiran: “ribet sekali”, “terlalu idealis”, “nanti saja dibicarakan”. Tetapi sekolah tidak memerlukan orang yang ingin disukai; sekolah memerlukan orang yang bisa dipercaya.
Integritas sebagai Kurikulum Tersembunyi
Di ruang kelas kita mungkin sedang membahas matematika, tetapi di ruang kepala sekolah sedang dipelajari etika.
Murid melihat bagaimana aturan ditegakkan, bagaimana konflik diselesaikan, bagaimana anggaran dikelola, bagaimana orang dewasa saling memperlakukan.
Inilah kurikulum tersembunyi yang paling mempengaruhi mereka.
Integritas tidak bisa didikte, tetapi bisa diwariskan. Dan warisan itu tidak membutuhkan modul atau pelatihan khusus. Ia hanya membutuhkan keteladanan yang konsisten.
Ke Depan, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Ada tiga hal yang tampak sederhana tetapi sangat menentukan:
1. Transparansi sebagai budaya, bukan dokumen
Transparansi yang sejati lahir dari kesadaran, bukan dari permintaan auditor.
2. Pengawasan yang sehat, bukan pengawasan yang curiga
Saling mengingatkan lebih baik daripada saling mencurigai. Lingkungan sekolah perlu ruang diskusi yang aman untuk mengkritisi keputusan finansial tanpa takut dianggap pembangkang.
3. Keteladanan yang menular
Ketika kepala sekolah jujur, guru lebih mudah jujur.
Ketika guru jujur, murid punya alasan kuat untuk tidak menyontek.
Integritas itu menular. Dan penularan yang kita butuhkan di negeri ini adalah penularan yang satu ini.
Akhinya, Kita Tidak Hanya sedang Menata Anggaran.
Kita sedang menata masa depan.
Kita tidak sedang mengatur laporan BOS atau memvalidasi data. Kita sedang membangun kebiasaan moral yang kelak menjadi fondasi warga negara.
Semua orang sepakat bahwa pendidikan adalah jalan perubahan. Namun perubahan itu tidak datang dari gedung baru, portal data baru, atau kurikulum terbaru.
Perubahan itu datang dari orang-orang yang memutuskan untuk jujur, bahkan ketika tidak ada insentif untuk melakukannya.
Dan ketika suatu hari bangsa ini berdiri tegak dengan kepala tinggi, mungkin semua orang akan bertanya: siapa yang membangunnya?
Jawabannya sederhana:
Para guru, para kepala sekolah, para penggerak di ruang-ruang kecil bernama sekolah, yang pernah memilih integritas ketika pilihan itu paling sulit.
Ajibarang, 21 Nop 2025
Tentang Penulis:
Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja adalah seorang guru IPA dan menulis esai reflektif mengaitkan sains, budaya, dan spiritualitas dalam narasi pendidikan humanistik. Ia percaya bahwa belajar bukan hanya tentang logika, tetapi juga tentang energi yang menghubungkan hati manusia
Posting Komentar